Jumat, 02 Maret 2018

Pada Irama Suara Jengkerik

pada irama suara jengkerik
gigil ini menyusupi ingatan waktu
kedip pertama matamu
dan senyummu yang lentik
mendekap hampir seperempat abad
langkahku
mari selalu jaga rindu
agar malam tak pernah sembilu

pada irama suara jengkerik
rasa tak pernah henti memantik


Jogja, 3 Juli 2015

Fragmen

tiba-tiba aku menjadi daun
berenang dalam angin,
terhirup panas meretakkan mimpi

pernah kau untai kata
membuatku berdansa dengan awan
pernah kau bisikkan desah
meredam gelisah
aku tulis bayangku sendiri

sepenggal ingatan menapak garis-garis mati
tatkala titik hujan mengukir pelangi
menemani canda para awan

butir-butir air membentang masa lalu;
menggenang madu berbatu

lalu aku menjadi kata;
bersemayam di kepala,
berhambur:
mengangakan luka
mengucurkan gigil

lalu aku menjadi malam
tempat sunyi menghujam


Jogja, 25 Maret 2017
kubuka pagi dengan selimut mawar
matahari bermanja di rambutmu
di cerlangnya aku mabuk wewangi
cecapi aroma renjana paling hati
lepas gigil masa
lekukmu liuk cemara
pada desah musim angin
kelopakmu geriap rerumputan
seduh pada musim berganti
percik sudah senyum pelangi


Jogja, 13 Februari 2017

Kau Tahu

kau tahu, tiap kali kujelang peraduan
seperti gerimis pertama di tanah kering
aromamu selalu memenuhi nafasku
hingga aku enggan bertemu pagi

kau tahu, tiap kali kureguk kopi di pagi hari
tatapmu mengalirkan hangat di dadaku
maka kusesap satu demi satu
agar tak tercuri oleh gigil pagi

kau tahu,
meski sudah kugali kata kata
kepadamu, ya selalu kepadamu
puisiku kelu mati gaya

Jogja, 07 Agustus 2016
seperti sebelum sebelumnya,
tak ada yang berubah
malam masih dengan desau yang menusukkan gigil
bukan serupa pisau,
bukan
lebih seperti bulir rinai jatuh
pada retak hati yang kering
dan masih seperti sebelumnya
kutunggu pagi berharap tanpa mimpi


Jogja, 14 Maret 2015
dik,
mari kita gurat kisah di daun pagi
mulai dari campuh rasa yang membuncah
mari kita simpan cerita di aroma seduh kopi
sejak hirup pertama rerumput di rambutmu
dik,
ingin kukalungkan senja di lehermu
yang menyimpan catatan gairah rindu
dan kita buka tirai malam
dengan jejak yang telah bisu
dik,
mari berdebur bersama laut
kau ambil garamnya, aku tangkap ombaknya
maka mengalun cinta kita
seperti seruput kopi pagi
hangat di pipi


Jogja, 22 Januari 2016

Kepada Senja

surat yang kukirim, sudahkah kau terima
di situ kugambar bibir dan denyut kita
menyusuri lambai ilalang dan saga: senyap

29 april 2016

Pada Sebuah Ketika

yang terhampar di antara engkau dan aku
sering kau maknai sebagai waktu
sebagai jarak
sebagai ruang
seperti pagi pada malam
yang harus melewati senja
seperti embun pada sengat matahari
yang harus hadirkan kicau burung burung

bukan
bukan seperti itu
bukan demikian

engkau dan aku
dan kisah yang kita wiru
adalah perjalanan dengan pelangi catatan kaki
jadi, masih perlukan kita bincangkan lagi
ruang, waktu, dan jarak?

bukankah sudah luluh semua dalam pertautan mata kita?
rindu yang kau selipkan di aroma bantal gulingku
dan hasrat yang tumpah di sajak bisu
telah menjadi ngilu yang demikian syahdu

masih aku punguti sisa bincang semalam
agar yang terhampar semakin pudar

tapi dingin telah menjadi saksi
bahwa sunyi yang kita tancapkan pada janji
tak lagi bisu

yang terhampar di antara engkau dan aku
adalah sebuah ketika yang riuh warna
juga jelaga

sebuah ketika
sempurna cerita

Kaki Merapi, 20 April 2016

Seperti Dedaun Tanpa Angin

di simpang itu aku diam, seperti dedaun tanpa angin. bukan beku sebab tak ada salju, bukan pula hening sebab tak ada yang bening. riuh itu sudah mengalirkan banyak peluh, dan kata-kata telah memaku kakiku. aku hanya melihat jalanan berbatu, di kiri menawarkan nyeri sementara di kanan pun sungsang harapan, dan aku diam seperti dedaun tanpa angin.

Jogja, 26 Desember 2013
Sebenarnya sudah kujanjikan
ketika kau memintaku
menenun kembali baris baris
sunyi itu
di mana anak anak berlarian
hingga serak semua huruf
baru saja jam dinding berdentang
di angka tiga
ada yang mencuri janjiku
dan hanya meninggalkan rongga
di dada waktu


Kaki Merapi, 11 Juli 2015

Aku Ingin

aku ingin menjadi kosong agar bisa menampung semua pendar kasihmu seperti kelopak bunga pasrah pada kecup lebah untuk menghasilkan madu. matahari meranum pada gigir cakrawala, mengundang rindu tertebar di taman jiwa. jalanan ini masih membisu.

wahai kasih, adakah itu engkau menyungging senyum sekuntum anggrek pada musim kembang? aroma renjana tibatiba menyergap kepalaku; senja masih saja tergugu, meski riuh cemara belum berlalu


Jogja, 24 Februari 2017
pada sudut mana musti kutiriskan rasa ini
sementara puisi tak lagi bernyali
di gelombang rambutmu, geloraku sejenak bisu

lama alunku tak berbaku
di diam kata-kata
sedang resah telah pecah
serupa burai angin koyak

malam mulai membatu
dan desah desah memburu
kasihku, kasihku
pada rekah mana kau sisipkan pelangi
yang dulu sempat tak mengenal pagi

hiruk ini
masih melayari dadamu
kelok yang selalu misteri
di bidang mana musti kuhempaskan
riuh cumbu yang termangu


Kaki Merapi 25 November 2013

Dua Hari di Malang

Dua hari di Malang, begitu banyak yang hilang
tak bisa lagi kusapa ia dengan kenangan
matahari bukan lagi kawan
dan jalanan siap menerkam
tak bisa lagi kudapati layang-layang
sebab wajah wajah demikian tegang
riuh sudah setiap sudut oleh perburuan
yang tak mengenal tua


Malang, 22 April 2015

Riuh Malam

Cahaya neon kota seronok menohok mataku, dan pendarnya berpelangi rautmu. Sebenarnya aku tengah enggan bertumbuk dengan mimpi, biar kunikmati malam yang demikian riuh. Tapi entahlah, dengan lem merk apa kau lekatkan sketsa rautmu di labirin ingatanku. Bahkan kopi ini pun tiba-tiba menjelma kedipanmu. Aih...


Jogja, 22 Agustus 2016

Elegi Negriku

tanahku membara gelegak
sebab hujan berebutan dari pagi hingga pagi
sementara para hati gigil gemeretak
sebab tak lagi tumbuh pohon empati
apalagi kasih

di sini carut, di sana marut
di sini teracung parang dan badik
di sana senapan-senapan membidik
riuh jerit dan teriak erang melaut
siapa bertanya tentang kasih

kemarau baru saja beranjak pergi
orang-orang berteguh memeluknya
sebab hujan dan dingin mulai melantunkan elegi
dan berderak segala pintu negri
di sini dan di sana, di mana-mana
masih saja, dan masih saja
negriku dicumbu duka
bercinta dengan luka


Jogja, 15 Juni 2017
dari balik petang engkau datang, menghadirkan kicau burung seterang rembulan di tanggal belasan

sayapku terbentang meliukkan angin di setiap tikungan, dan jantungku melayang seperti bunga bunga tebu di musim tebang

belum juga pagi mengetuk pintu, engkau sudah berlalu sambil menitipkan satu kardus penuh berisi ngilu,

untukku


Jogja, 8 Mei 2017

Sang Pewaris Mandat

jelas kau bukan keseleo lidah
ketika gegabah menyinggung al Maidah
jelas bukan tak sengaja menggoyang lidah
ketika mengumpat rakyat dengan amarah
maka kau kibarkan nada requiem
di segenap persimpangan malam
dengan bunga bunga berserakan
dari mereka yang disekap kegelapan

satu hal engkau lupa
kekuasaanmu hanyalah warisan
bukan mandat dari mayoritas pilihan
tetap saja kau umbar murka
maka lagu kematian bagimu menguar
meski kekuasaan menopangmu dengan gahar

kubur sejak lama telah kau gali
dan kain kafan pun telah kau beli
dengan lidahmu
dengan angkaramu
dan mereka yang memujamu tanpa henti
sesungguhnya tengah menipu diri

selamat jalan sang pewaris mandat
masih banyak jalan bagimu bertobat


Kaki Merapi, 29 April 2017
Malam ini aku teringat kepadamu. Bukan, bukan senyum sembilumu yang menghampiri lewat desau angin, bukan pula bau gelombang rambutmu yang kadang menggelitik simpul simpul sarafku. Aku teringat kepadamu, ya, keseluruhan dirimu. Tak kurang tak lebih. Malamku pun beku, meski bulan mendidih.


Jogja, 18 Agustus 2016

Merindu

aku titipkan senyum pada embun pagi
yang tiap kali mengetuk jendela hatimu
usapkan pada rona pipimu
jika kau merindu
kusampirkan harap pada rindang daunan
di sisi kamar
jika kau bangun nanti,
ia akan merambati sekujur nadi dan geliatmu leburkan renjana yang lama tersekam

aku pergi mengusung pagi
dengan senja di pelataran
rautmu penghuni abadi
alir nadiku

mari bersendau meski lewat bayang
biar tak terasa bahwa jarak terentang


Jogja, 25 Maret 2017

DIRIMU

masihkah engkau ingat, dik?
kau reguk aku, kureguk engkau
dirimu di penampang silang waktu
kemudian kita lahirkan anak anak rindu
yang terkurung resah tak bertepi


Jogja, 3 Januari 2017

Aku Pengembara Maya

Aku pengembara maya
berkelana mencari suaka telaga
berabad waktu berlalu
beribu tanah berganti
bahkan berlumut rindu
daki menjadi selimut,
keringat menjadi penghangat;
darah tertumpah di mana-mana.

Aku pengembara maya
mata di penjuru dunia; fana
lebih banyak tak terjaga
lebih banyak terlelap
karena lebih indah mimpi
daripada hidup suri

Aku pengembara maya
jelajahku daging, masih daging
maka kalam bersiuran
hanya singgah sesaat
belum sempat melekat

masih harus mengembara


Jogja, 23 Maret 2017

JARAK

kemari, kemarilah
di sini kita duduk saling tatap
bertukar kata
mungkin juga rasa
agar tak tercuri angin pikiran kita
aku di sini dan kau di situ
biar saja keriuhan itu membisu

panjang sudah jalan yang kau tapak
pun liku yang kujejak
tak perlu lagi menghitung jumlah rindu
seperti dulu, tak berkurang
juga tak bertambah
ia semedi di pucuk pucuk malam
hening berbilang waktu

sebentar, kupanggil dulu sunyi
biar jelas degup kita bicara
kau di situ, dan aku di sini
memilin masa


Kaki Merapi, 29 Juli 2015
Pohon cinta yang bertahun kutanam di jiwamu tlah hasilkan ribuan kwintal buah rindu. Hijau daunnya dan gemerisik angin membasuh dahandahan harapan dan memangkas rantingranting sembilu, di hatimu dan hatiku.


Jogja, 3 Mei 2017
biar sejenak aku rampungkan malam
yang bertengger di pelupukmu
dan kusingkirkan pelepah resah
untuk puncak renjana yang lama kelu

jangan biarkan rindu berkerut
karna jarak yang semakin butut


Jogja, 20 Mei 2017

Rindu Masih Merimbun

Biarlah kurekah fajar
agar koyak kelam yang menutupi rautmu
akan kurobek kabut
agar tersibak tirai yang sembunyikan kerlingmu
biar kubelah mendung sesah
agar lengang rinai cintamu basahi kering hati
dan kuhembuskan nafasku di sela anak rambutmu
menyusupkan gairah purba

telah puncak getar geriap mendera
karna langkah di pijak goyah
penuh sudah dedaunan susupkan dingin di tiap ruasnya
hingga membeku jantungku

angin laut hadirkan bongkah kenang atas liuk tubuhmu
serupa tari cemara di desah musim
jarijari pagi tuliskan pesan di tiap embun
rindu yang masih merimbun


Kaki Merapi, November 2011
esok aku akan datang kembali
menyusuri catatan yang pernah kita lalui
di setiap simpang masih saja menguar aromamu
mungkin dulu kau tanam gelinjangmu di sana
agar tak pernah usang
rindu yang disembunyikan waktu


Jogja, 10 Agustus 2016

Bunga Tebu di Musim Debu

di sini aku terpaku
dan kamu membisu
gersang segenap rasa yang kita ukir
sebab rerumput masih enggan berbaku sapa dengan pagi
maka rasa kita yang masai belum terurai
ia masih dilorong senyap
berumah mimpi
bersama gigil sembilu
di gigir malam
aku titipkan rindu
kelu
seperti bunga tebu di musim debu


Jogja, 14 Mei 2017

Doa untuk Mama

Aku tak datang
doa-doa pada rindu yang senyap
menapak jalur waktu, lalu itu seperti baru
ketika kosong tiba-tiba menyergapku
selalu
begitu selalu


Jogja, 27 Oktober 2016

Catatan Beku

flamboyan memerah
seperti bermusim lalu pendar mata kita berbaku
kau gurat pesan di batu
sebuah puisi tentang gelisah

bermusim berlalu
kembali flamboyan memerah
sebagian daunnya seperti janji kita dulu
berguguran di tanah

lihatlah bangku kayu tua itu
saksi merahnya flamboyan di hati kita
saksi gemuruhnya degup dada kita
masih ia simpan semua catatan rindu

flamboyan memerah
dan sebuah bangku tua yang gelisah
di sini aku
bersama seribu catatan beku
tentang kau dan aku


Jogja, 05 Agustus 2016

ALGORITMA RINDU

kita adalah rerumput gerimis pagi
melambai, meliuk, dan nenarikan mimpi
pada helai helai basah hujan
menghitung jumlah detak jantung
di tiap senyum terkulum, lindap
di baku rasa kita, hujan berkelindan
aih, mari kita tuai
algoritma rindu yang telah ranum

Kaki Merapi 25 Januari 2015

Api

selembar kertas teronggok
di pojok ingatan
hurufnya merah meleleh
pada raut muka
serupa darah

pada tiap titik senja
berdentam seribu desah
di selembar kertas
dan kata menggelinjang
memburai
serupa resah

telah menari kaki airmata
pada tiap henti
jeda nafas dalam telut
sujud tanpa raut
airmata bersabung
sengau katakata
melusuhkan kertas ingatan
di sudut kepala
serupa lara

maka harus kuhujamkan rindu
pada laut paling laut
pada jurang paling jurang
pada relung yang tak lagi raung
maka harus kubakar rasa
hingga tanpa sisa
serpih mengudara memerih mata

katakata lunglai
pada kertas ingatan
yang merindui api


Jogja, 24 Maret 2017

Fatamorgana

Lalu waktu bergegas gegas
seperti cemas yang sedang berkemas
siapa yang telah menggenggam rindu
pucuk pucuk rumput mendadak layu
di batas akhir tatapan senja

Di sini,
di senja bungsu ladang tebu
kuhirup lagi kenangan engkau dan aku
dan kulesakkan di selasar hati

sebelum waktu bergegas menjemput
mari sejenak lagi kita berpagut

Dendam cinta ini masih membara
meski ditelikung fatamorgana


Jogja 2 November 2017
rindu ini menggigitku
sisakan lebam tak mau pergi
oleh pagi
kirimkan kerlingmu kembali
biar aku tak lagi menunggu waktu


Jogja, 6 November 2013

Hutan Rindu

semenjak kau jatuhkan benih rindu di jantungku
membelukar semak cinta di dadaku
tanpa hujan, tanpa kompos, tanpa serbuk
sebab bayang rautmu telah menjadi pupuk
salahkah aku
jika kemudian jantungku sesak hutan rindu
padamu?


Jogja, 4 Agustus 2016

PENAK JAMANKU TO?

aku rindu masa itu, aku rindu kala itu.
biar apa katamu, membuih kata di samudera
dan segala caci maki dan sumpah serapah
hanya ada di dinding senyap
dari mereka yang kini menjadi lebih iblis
dari yang terhujat

aku rindu masa itu, aku rindu kala itu
orang hilang...
penculikan...
otoritarian...
duhai, sudah aman kah jaman sekarang?

sejarah dunia selalu mencatat
hanya mereka yang bertangan besi
berhati singa
berjiwa baja
dan langkah bernoda darah
yang bisa menjadi pahlawan bagi bangsanya
bukan yang lemah lembut
bukan yang bersahaja
bukan yang banyak kata tanpa makna
dan bukan yang teriak demi citra

duhai,
aku rindu masa itu
aku rindu kala itu


Jogja, April 2015

Rohingya

aku tak pernah kenal kalian
baik pribadi maupun kumpulan
aku tidak tahu apa apa tentang kalian
kecuali dari berita berita yang bertebaran
tetapi kita diikat satu rasa kemanusiaan
maka rasaku terusik
batinku bergejolak
dan darahku mendidih
menyaksikan penindasan
dan pembantaian atas kalian

Oooh, Rohingya....
kalian menjadi bukti, menjadi saksi,
sekaligus menjadi kelinci
bahwa buasnya binatang
bukanlah apa apa dibandingkan
bengisnya manusia

Oooh Rohingya,
kalian menjadi bukti
bahwa sisi kemanusiaan dunia banyak yang terkunci
mereka sibuk dengan perut sendiri
mereka ribut dengan pikiran sendiri
mereka hanyut dengan keriuhan sendiri
bagaimana mungkin bisa perduli?

Oooh Rohingya,
karena kalian kami semakin tahu
dengki telah mewabah di negri ini
kemanusiaan adalah alat untuk transaksi
dan empati maupun simpati
hanya berakhir di kursi kursi
sementara kalian menggelepar
serupa ikan dilempar ke jalanan

dan aku, duhai Rohingya,
dan aku
aku pun tak memiliki daya apalagi kuasa
kecuali berteriak melalui sajak
yang segera lenyap dibekap senyap
tanpa jejak
aihh...


Jogja, 05 September 2017

Sajak untuk Rohingya

Rohingya #1
duhai Rohingya, duhai Rohingnya
entah malam, entah pun pagi
waktu tlah menjadi api
mengepungmu dari segala sisi
sisakan abu tanpa nama tercatat

Rohingya #2
mungkin sejarah lupa mencatatmu
ketika serigala menerkam dan merobekmu
sekelilingmu hanya sunyi, hanya sunyi
yang meneriakkan simpati dan empati
sambil tertawa-tawa dan mengunyah roti

Rohingya #3
katakan di mana kemanusiaan bertahta
para tetangga memejamkan mata: membuta
para serdadu menumpahkan timah maut
nyawa menjadi lelucon belaka
ini dunia ataukah neraka

Rohingya #4
aku heran, aku geram
kalian disiksa, dibakar, dinista
di sini banyak berbaku kata
bahkan mencibir dan bercanda
berempati dianggap mimpi belaka

Rohingya#5
untuk Rohingya kita juga terluka
tapi jangan galang luka bersama
sebab mewabah di negri ini
kebersamaan terbuka dalam luka
bisa dianggap berbahaya bagi penguasa

Jogja, 6 (dan 14) Sept 2017

Sajak untuk Presiden

Selamat pagi Tuan Presiden,
seperti biasa kami tak ingat lagi segala janji
kampanye kemarin
tapi percayalah,
di sepanjang langkah Tuan
batu batu menyimpannya aman
setelah angin mencatat dengan tinta alam
dan air sungai akan memantulkan kembali
ketika Tuan lupa
dan matahari akan menyusupkan ke dalam darah kami
manakala Tuan tak lagi peduli
dibungkam bisik bisik mati
Tuan pasti mendengar bisik hati kami, bukan?

Selamat siang Tuan presiden,
setiap jengkal dari Sabang hingga Merauke
adalah emas, intan, berlian, permata
adalah minyak, gas, uranium, bauksit
adalah sumber daya manusia tanpa batas
jangan kepada kata mereka Tuan peruntukkan
apalagi kepada mimpi yang kami kunyah tiap hari
di berbagai koran
di seluruh kanal tivi
di internet
bahkan di warung kopi
tapi begini begini saja hidup kami
membanting tulang dan mengucurkan keringat hingga darah
demi sekepal nafas esok hari
sementara kekayaan perut Pertiwi
hanya singgah di buku buku sejarah
Tuan pasti mendengar bisik hati kami, bukan?

Selamat petang Tuan Presiden,
warna saga di senja barat semakin menua
seperti perjalanan negri ini
riuh, gempita, eforia, dan berujung sunyi
seperti liuk dan seok langkah para jelata
ditelikung telengas harga harga
dilindas mimpi mimpi belaka
Tuan pasti mendengar bisik hati kami, bukan?

Selamat malam Tuan Presiden,
kami masih menghitung bintang
demi gigil mulut dan perut anak anak kami
sebab mereka tidak mengenal kata nanti
selamat beristirahat, selamat tidur
Tuan pasti mendengar bisik hati kami, bukan?

mungkin esok, kami tak bertemu pagi


Kaki Merapi, 25 Maret 2016

Sajak Buat Istriku

Kemarin, yah baru kemarin
kita berdebat, bersilang pendapat
dan hati berjabat
lalu malam mendekat,
kuantar kau pulang
"Besok jemput aku, sayang," katamu manis

Kemarin, yah baru kemarin juga
kusanding engkau di peraduan
hanya aku dan kau
meleburkan hakekat alam
waktu tak lagi berbeda buat kita

Kemarin, yah, baru kemarin
kulihat selarik keriput di lipat matamu
dan rona abu membias di rambutmu

Kemarin dan hari ini
seribu waktu aku termangu


Jogja, 26 Maret 2017

Mehkarta

 sebuah kota baru penuh rahasia
satu negri bungkam dibuatnya
bahkan tahta hilang daya
bersimpuh pada amplop merah saga

kota ini dibangun oleh seekor singa
di negri yang dikuasai para kambing congek
yang hanya bisa mengembek
sendika dhawuh di kaki singa

oh mehkarta,
aku teringat sajak seorang ulama
"di negri amplop
amplop amplop membeli apa saja
dan siapa saja"


Jogja 13 November 2017

Cerita Pagi

rasa yang rapat kau simpan
sesungguhnya menguar, dan menjadi catatan angin
setiap lembarnya adalah sajak sajak bisu
tentang masa lalu
tentang batu batu
dan tentang ngilu
kau tahu, lewat basah pagi
ia berkisah lembar demi lembar
maka kudapati gelombang samudramu
liuk sungaimu
juga rinai malammu
pagi tak pernah lupa berkisah padaku
tentangmu

Jogja, 07 Mei 2016

Sajak Kebun Teh

dik,
sesekali tengoklah lagi kebun teh Pucung
pada hampar hijau pucuknya,
sudah aku tulis sebuah sajak untukmu
tentang bebatuan di jalan setapak
tentang rimbun dedaun teh
dan tentang semilir pada rautmu
semua menyimpan rapat kisah kita
melalui setiap seduh dan sruput pelancong di sana

dik,
mari susuri lagi jejak kita
di lereng Lawu pernah kita basah bersama
engkau tertawa sambil mengembangkan lenganmu
sementara aku musti berjibaku menenangkan jantungku
yang tiba tiba sesak oleh kerlingmu

di situ,
aku tinggalkan catatan sajak diam
tentang rindu yang terbakar malam

rupanya benar kata orang orang
menjelajahi ruang ruang hati di karanganyar
adalah mengguratkan garis garis cinta yang tak pernah samar
seperti sajak untukmu
yang kutulis di hampar kebun teh dan lereng Lawu

Jogja, 7 September 2017

Hujan Kata

mereka yang sibuk dengan hujan kata
tengah mengasah parang kehidupan
diam-diam
dan kita menjadi domba
gemuk memamah rumput kata
perlahan ke pejagalan, penuh suka cita
demikian tradisi
aku cemas abadi

coba lihat di tivi, di jalan
bahkan di saku celana
basah kata beraroma mati
batu-batu nisan sudah disiapkan
menyambut riuh pesta demokrasi
sebab para srigala tiba-tiba bertubuh peri
bersuara bidadari

Kaki Merapi, 09 Februari 2014

Ya, Kepadamu

hujan pagi di musim kemarau
dan bulir padi usai dituai
aroma tanah basah
dan kelepak burung sesayup daun yang kuyup
menggurat rautmu di pelupukku
selepas rinai itu
tercumbu rindu baru
padamu
ya, kepadamu

Kaki Merapi, 01 Juni 2015

Aku Cemburu

entah desah mana menggiring kata pada tatap
dan baku tawa
kisah menyungai di musim hujan
terik sempat membarakan geliat terpendam
sesaat, pelan
tapi layang debu siramkan api hati
perlahan mati
ditikam belati
keraguan

kau dan aku
berlumur senyum dan kerling tajam
saling mendekap gamang

seperti tercatat pada uraturat jalan
waktu tak pernah berkawan
dia melaju dalam diam
dalam bisu dinding yang menyeringai curiga
menelan seluruh kisah
sisakan sepi membasah

ah, aku cemburu pada embun di daun
berbaku kerinduan

Kaki Merapi, 13 Oktober 2012
Untuk apa bertekak jika kelak damai justru mengelak
biar aku rehat sejenak
dari riuh ringkikmu yang semakin pekak
patah tumbuh hilang berganti
demikian aku menikmati
tanpa ada lagi belati
menikamkan padaku sunyi


Jogja, 22 Agustus 2015
setelah belati kau lesakkan lewat kata kata
kini garam kau taburkan lewat airmata
pada segenap luka yang masih lebam
sebuah babak paling entah tengah kau mainkan

biar kusimpan dulu rasaku pada bebatu
agar tak mendidih menggolakkan kopi
dan tumpah tak bisa lagi kunikmati


Jogja, 13 Desember 2016

Mari Buat Surga

bulan benderang pada malam
kabarkan rindu membiru di ruas relung
jemari lentik menggurat kata
pada ranum rasa
kekasih, bukalah hati
mari kita buat surga

mari kita semai kecambah rindu
dalam tanah-tanah yang telah basah,
hujan pada musim semi
akan memberikan hara
menyuburkan tumbuhnya kasih
lalu lahirlah anak-anak kata
membuat rumah kita berisik bahagia,
di rumah puisi tanpa batas musim


Jogja, 25 Januari 2013
pagiku penuh darah, meletup-letup di titik-titik syaraf
disapanya lapis-lapis kulit dalam kembaranya menuju jantung
dihembuskan sepoi membangunkan helai-helai
dan menuliskan pada lembar-lembar rasaku
"berbuncahlah denganku selalu
sebab siang kerap kali iri dan melelapkanku,
dan senja selalu tak sabar untuk segera melenakanmu"

dentam langkah dan deru jalanan melaju
pergulatan yang memburu
acap terburu-buru
debu dan resah
asap dan gairah
waktu adalah kekasih yang tergugu

pagiku berbisik padaku
bersimpanglah engkau
agar siang dan senja setia menunggu


Jogja, 30 Agustus 2013

Di Simpang Jalan Itu

di simpang jalan itu
kau memanggilku
wajahmu lelah namun berseri
jarak cahaya telah kau tempuh
aku ingin bersimpuh

wahai sang Kekasih Jiwa
aku teduh pada sosokmu
saat keluh melusuh
tangan kokohmu membelaikan sutra
di wajahku
termangu

di simpang jalan itu
terseok rinduku
karena debu meliat batinku
sekian waktu kujalani
mengikuti bayang jejakmu
langkahku tercecer
hatiku terserak
aku tersesat

suaramu menggema memanggilku
aku bergegas
penuh rindu

aihh, layakkah aku merindu
sedang sambat pujaku
tak menentu?


Kaki Merapi, 4 Juli 2011

CEMARA

kekasih, serupa liuk cemara jalan hidup kita
entah ke arah mana angin meniupnya
mari gandeng tangan agar cinta tak terserak


Jogja, 02 Mei 2016

Tuliskan Sajak Untukku

tuliskan sajak untukku kekasih, agar penuh hatiku
pagi ini embun telah menguap sebelum matahari menyapa
dendang burungpun kedap disekap remang


Jogja, 28 September 2011

Kekasih, Kukirimkan Rindu

Kekasih,
awan berkejaran mengarak matahari mengusap hati kita
kilaumu dedaunan pagi berpucuk embun,
sekejap mengurai pesona merasuk jiwa.
Senyummu melodi pemain harpa mendawaikan lenguh cintanya
dia tebarkan nada menelusup udara,
menyesaki kepala kita tentang asmara berdansa di awan.

Kekasih,
Kukirimkan rindu lewat denting angin menelusup hatimu,
agar mimpimu berselimut hangat angan kita.


Jogja, 20 Agustus 2011

Di Hening Dadamu

Kekasih,
biar kuresapi tiap ngilu di lenganku
biar kugeluti tiap nyeri di nadi
anggaplah ini pengganti
tiap nyeri dan ngilu
yang pernah dulu aku tikamkan
di hening dadamu


Jogja, 24 Februari 2018

Benang Hasrat

Kaulihat leret rindu di sudut mataku?
Ingin kupintal menjadi benang hasrat padamu
dan mengikatkan di palung rengkuhmu.
Malam tlah meranum
menanti jemari cinta kita memetiknya,
jangan biarkan dia menanti
dan membusuk pada tangkai pagi.


Jogja, 22 September 2016

Kabar Hujan

baru saja hujan bawa kabar
tanah tempat kita dulu berbagi gundah
rindu lenguh dan desah kita
dan aroma renjana

sudah berapa musim kita tak pulang
banyak cahaya menyilaukan mata
banyak debu mengaburkan jarak pandang
maka lupa kita jalanjalan

biarlah kukatakan pada hujan
bahwa kita masih diradang keriuhan
(dan tahukah kau)
hujan pun meneteskan airmata


Kaki Merapi, 27 November 2012

Engkau Bahkan Pergi Saat Kami Ditikam Tirani

kami ingin bertemu denganmu
bukankah engkau pemimpin kami
Imam besar negeri ini
kepadamu bermuara segala benang kusut
segala gemuruh
bahkan di bahumu semua harap anak negri tertuju
bukan kepada para pembantumu
bahkan bukan juga kepada wakilmu
apalagi kepada karang karang membisu
di istanamu

ribuan kilo telah kami tempuh
gemuruh dada kami oleh kata membelati
koyak berjuta hati
berdarah berjuta jiwa
kepadamu obat luka kami minta

ya, obat luka
bukan perlakuan seperti yang kau berikan
kepada saudara kami di ujung timur
kau undang dan kau jamu megah di istana
setelah mereka koyak cinta
bukan, bukan itu
kami hanya minta obat luka

ribuan kilo telah kami tempuh
ribuan hati dari delapan penjuru angin
ribuan kumpulan yang tak saling kenal
dari seluruh pelosok negri
melafazkan damai menuju istanamu

ribuan kilo telah kami tempuh
tentu bukan untuk membuat rusuh
meski bara di dada demikian bergemuruh
meski api di nadi demikian membakar
meski darah sudah mendidih
tidakkah kau mengerti?
tidakkah kau melihat?
tidakkah kau peduli?

ahh, ternyata untuk kami kau hilang hati
engkau pergi membelakangi
sementara kami berdarah ditikam tirani.

Jogja, 6 Nov 2016

Sang Raja

Duhai sang raja,
datangmu mengobrak abrik ladang kata
kami dipancung kapak kapak media
dari segala penjuru
satu kisah nyata
menjadi banyak versi beda
entah kebenaran ada di pihak mana
boleh jadi semua serba pembenaran

Duhai sang raja,
andai engkau bisa berbahasa Indonesia
dan engkau baca semua media
apalagi yang maya
mungkin engkau akan kembali muda
oleh tawa tanpa jeda
membaca kekonyolan demi kekonyolan
di berbagai tautan
ataupun status picisan
yang bodoh dan yang pandai
tiba-tiba menjadi sama
sama kelasnya
sama mutunya
berlomba mengais sampah kata kata

Duhai sang raja,
jangan jangan justru baginda
pingsan tertawa

Selamat datang di negri para dewa
yang mabuk tanpa arak dan tanpa tuak


Jogja, 2 Maret 2017

Tumbal Perubahan

tadi kita jumpa di simpang lama
lusuh
wajahmu kuyu dan tirus
tulang pipi pongah menantang,
dan matamu meringkuk, namun
sorotmu tak hilang garang
kujabat belulang jemarimu
gemeretak merobek udara
menusukkan butiran pasir di dadaku
kau tersenyum tipis,
tak kupahami lagi arti

ingatan berkelebat bertahun silam
tegap sosokmu dengan dada bidang
senyummu
mentari pagi dan gurat saga senja
kita berbaku kata
saling canda

waktu memang tak punya perasaan
melindas apapun yang ada
mengganti tanpa bertanya
tanpa tawar menawar
bhusss...
seperti tukang sulap menjadikan bunga
guguran kertas

maka kutanya dirimu, "apa sebab?"
"perubahan butuh tumbal," katamu
tertegun aku


Jogja, 15 Februari 2017

Lepuh Rindu

Tiba-tiba kau hadir merobek tirai
deras darahku berdesir
waktu berhenti
kau sisakan lepuh
pada rindu


Jogja, 8 Mei 2012

Ada Gumpal Rindu di Tiap Simpul Sarafku

kutulis ini untuk sedikit mengurai gumpal rindu
di tiap simpul syarafku,
sejak kau lemparkan benih rasa di ladang hati
dia tumbuh menyemak
meski musim hujan tak kunjung datang
kemarau menjadikannya kaktus berduri ilalang
akarnya adalah seluruh urat nadi

di banyak ladang
anakanak bermain layanglayang
bergambar wajahmu
dan rumbainya melambai padaku,
menggeraikan rambutmu mengusap
basah relungku.

batangbatang tebu meliuk,
daundaunnya menari bermusik angin
sambil mendesaukan lagu rindu
untukku
ataukah
untuk kita?

mestinya sepasang matamu
menyaksikan pula di batas senja
sepasang angsa berdansa cinta
dan merasakan desah nafas mereka
dalam renjana

seperti yang masih kurasakan
sapu nafasmu
merasuk rongga dadaku
membasuh bilur hati
melebam karna buluh waktu
sejenak kupejam mata
agar sketsa rautmu
menjelma lukis wajah
membantu jemariku mengguratnya
di ruang hati paling sunyi


Jogja, 15 Februari 2017

PERJALANAN

aku punguti malam dari hatimu
masih terserak banyak di situ
rupanya pagi ada yang membelenggu

dik, mari duduk di sini
jangan hiraukan lagi matahari
sebab panas kita lebih abadi

sudahlah, biarkan senja menyapa
kita bungkus saja kata kata
bukankah cinta itu bisu semata?

mari kita berkemas
sebentar lagi waktu ranggas
meski rindu tak mengenal batas


KM 27 November 2015

Kekasih, Mari Sini

kekasih,
mari duduk sini
meresapkan liuk pagi pada hembus angin
urai bunga tebu itu menari di kilau
matamu
pada degup degup dadamu
melautkan seluruh hasrat malam yang lola

mari sini ruahkan mimpi
meleburkan debardebar pelepah cinta
dan melahirkan anak-anak rindu
hingga kita berbingkai senyum
dan berbaring di rumah senja

mari sini menyambut matahari
lupakan sejenak geriap luka yang gemuruh
kita seduh sendu menjadi pupuk rindu
lebur kau dan aku
dalam senyap yang tak lagi bersembilu

Kaki Merapi, 07 April 2013

Sajak Saga

gelincir matahari di ranjang hari
sisakan semburat rona di jejak kaki
ada menitis di bilahbilah langit
gaung bersambung di gigir tabir, pahit

aku bermain kata dengan cakrawala
saling bertukar sajak, berbaku gurindam
katakataku meliuk, kadang senyap makna
katakatanya lurus menukik tajam, menusuk, menghujam
katanya selalu begitu,
dari waktu ke waktu
dari jaman ke jaman
edan

mari, mari buat janji
antara kau dan aku sendiri
biar aku tak lagi bikin puisi
sementara engkau mengasah belati
kita buat semburat saga menjadi saksi

"mana mungkin ada janji
antara kepastian dan keinginan," katamu
sejurus aku termangu
berkedip mata saga padaku
menyilahkan senja mulai merengkuhku

waktu tak mungkin tertipu...

Kaki Merapi, Agustus 2012

Aku Cemburu

entah desah mana menggiring kata pada tatap
dan baku tawa
kisah menyungai di musim hujan
terik sempat membarakan geliat terpendam
sesaat, pelan
tapi layang debu siramkan api hati
perlahan mati
ditikam belati
keraguan

kau dan aku
berlumur senyum dan kerling tajam
saling mendekap gamang

seperti tercatat pada uraturat jalan
waktu tak pernah berkawan
dia melaju dalam diam
dalam bisu dinding yang menyeringai curiga
menelan seluruh kisah
sisakan sepi membasah

ah, aku cemburu pada embun di daun
berbaku kerinduan

Kaki Merapi, 13 Oktober 2012

Maka pergimu adalah sengat di jantungku

seberapapun jauh jarak pemisah
antara engkau dan aku
seberapapun banyak duri
di sekat labirin kita
seberapapun kental pahit yang kau seduh
untukku, ya untukku
di dasar hatiku, aku mengagumimu
ya, aku mengagumimu
maka pergimu adalah sengat di jantungku
aku tergugu

bagimu,
pagi adalah api yang mendidihkan mimpi
menyeduh harapan
pada cangkir cangkir kopi yang kau saji
bagimu,
waktu adalah pemintal abadi
untuk serak benang yang tengah kau rajut
menjadi selimut kebanggaan kami
bagimu,
cita-cita adalah janji yang harus dipenuhi
mimpi yang tak boleh berhenti

maka pergimu adalah sengat di jantungku
aku tergugu

selamat jalan pak Hartadi*
surga menyambutmu
dengan tarian angsa pada bianglala senja
Innalillahi wa innailaihi rojiun
Allahumma firlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu

Jogja, 8 Desember 2016

*Rektor UTY yang luar biasa

Kamis, 01 Maret 2018

Sepotong Surat untuk Istriku

ketika kau tanya tentang cintaku padamu
aku tergugu, aku tak tahu
kata apa yang pas untuk itu
sebab engkau kepadaku
adalah luruh pada setiapku

seperti malam tak lagi punya arti
saat gelap tak lagi merajai
seperti hutan
hanyalah sepetak tanah gersang
tanpa semak dan pepohonan
dan samudera tinggalah nama belaka
ketika tak ada lagi ombak berdansa di sana
demikian pun engkau bagiku

lantas
bagaimana aku akan mengatakan cinta
ketika yang kurasa
melebihi seluruh maknanya?
jangan lagi kepadaku kau tanya
sebab setiap getarku adalah dirimu
dan aku bukan lagi aku
tanpa engkau menjadi nafasku


Kaki Merapi 24 September 2016

SELAMAT ULANG TAHUN ISTRIKU
SEMOGA SENANTIASA BERKAH TUHAN TERCURAH BAGIMU

Nafas Cinta

pagi mengirimkan desaunya
sunyi yang membara
senyap yang menggelora
nafas yang berkejaran
dan angin pun cemburu


Jogja, 3 Februari 2017

Tentangmu

ada selasar sepi yang rajin mencatat
pertemuan pertemuan mata kita
anak tangga itu pernah menghitung
berapa derap rasa yang berdegup
entah kau masih ingat atau mungkin sudah lupa
betapa dalam pernah kita merindukan sepi
sebab sepi adalah buku harian paling sempurna
untuk setiap jengkal perjalanan cinta

kemarin aku buka lagi album foto kita
sungguh waktu tidak pernah mengenal jeda
sudah demikian banyak kita punguti sisa usia
tapi senyummu, tetap saja mawar di musim bunga

kusimpan dulu catatan ini yang masih masai
biar saja, biar tak juga usai
sebab tentangmu
adalah puisi hati yang tak pernah selesai

Jogja, 17 Oktober 2016

Sajak Cinta dari Ciamis

sudah kau kerahkan segala daya untuk menghadang
sudah kau peras seluruh keringat untuk menghalang
sudah kau sebar lembar perintah untuk melarang
sudah kau tancapkan pancang sebagai perintang
semangat ini semakin meradang
kami datang dalam gelombang tak terbilang

sebab yang berjalan bukanlah kaki kami
sebab yang bergerak bukanlah pikiran kami
sebab yang beraksi bukanlah tubuh kami
melainkan titah langit yang mengalir dalam nadi kami
getaran jiwa paling relung yang kau tak pernah mengerti
ghirah iman paling dalam yang kau bahkan tak mampu lagi menggali

kami riak riak kecil yang mulai luber menyebar
jika engkau tak lihai lagi berselancar
berhentilah mengumbar gebyar
sebab kami akan menjadi air bah
yang mampu menelanmu berkalang tanah

maka,
bukalah hati untuk kami
sebab kami cinta negri ini
tapi di atas segalanya
kami cinta titah langit
yang mengalir di sekujur nadi kami

Kaki Merapi, 30 November 2016

Cemburu

Hari ini masih terbawa rasamu
memeluk jiwa
lewat hembusan nafas
alam menyapu wajah
bersama kicau angin pagi
mengetuk gendang telinga
masih sempat kulihat awan
disana memandangku cemburu
dan memintaku berbagi dengannya


Jogja, 5 Juli 2010

12 Tahun Cinta

Kubisikkan kisahku pada angin
yang baru saja berlalu
12 tahun sudah bersama
setelah 6 tahun memadu
Betapa manis kegetiran itu
hanya dalam luka penuh cuka
ada syukur bahagia
hanya dalam pedih penuh rintih
sujud ini berarti
Tuhan penuh kasih
memberi cinta tak berbatas pada kita
dan angin melambaikan tangan
dari kejauhan


Jogja, 5 Juli 2010

Iya, Kamu

Kukunyah sakit ini, dan kulautkan remahnya
agar kelak menjadi hujan
dan menyuburkan rerumputan cintaku
kepadamu....
iya, kamu


Jogja, 14 Juni 2014

Telah Kita Semai Cinta di Awal Musim Hujan

kutengok hatiku
melingkar-lingkar
di pusaran air kehidupan
timbul tenggelam
melambaikan cinta di setangkai kayu tua
gemetar digerogoti sejarah
sedang kau sibuk menghitung anak tangga
tak pernah mencapai puncak

sudahlah
lupakan semua
bukankah telah kita semai
cinta di awal musim hujan
agar tumbuh menjadi teratai
tempat para katak bermain dan bernyanyi riang
dan ikanikan berenang berkejaran
sembunyi di bawahnya

waktu memang tak pernah berpihak
ia merayap, berlari, terbang, melesat tak perduli
cinta tlah menjalarkan akarnya
di sekujur urat nadi
membiarkan tumbuh meliar
mengganas
menggerogoti tulang
sisakan ngilu
sisakan luruh
sejarah purba yang selalu baru

kita saling tatap di jarak dan waktu
dan bunga teratai berbiak menyemak
pada selongsong cinta
tak mampu aku menghitung jumlah


Jogja, 14 Februari 2017

Gelisah Sunyi

Malam ini kabut
nyanyi jengkerik menerobos selanya
temaram lampu jalan
sunyi sedang gelisah

kabut di kepalaku
bulan tak mampu menyibaknya
langkahku buta
gelisah ku sunyi


Jogja, 10 Desember 2012

Cinta Dalam Lipatan Waktu

Kuhitung sisa malam ini
tak ada lagi gemericik daun maupun
desah angin pada air sungai
barangkali tertinggal di lipatan waktu
seperti keriput yang mulai beraksi
menyombongkan diri di wajahmu
tinggal berapa lembar lagi detak bulan
menyapa hingga kita percaya
bahwa cinta seringkali menumbuhkan
malam malam yang merana
tanpa rembulan
tanpa gemericik dedaunan
tanpa desah pada air sungai
ah, sisa malam
kuharap menjadi gurindam

Jogja, 08 Maret 2015

Di Simpang Musim

tunggu aku di simpang musim
atau letakkan saja senyummu di sana
akan kutemukan kau
sebab aromamu rapi tersimpan
di kepala


Jogja, 15 Oktober 2015

Rindu Melepuh

Duhai, sungguh rindu memeluh
pada biru rasamu
pula rasaku
ini rindu,
pelepah cinta yang
menyembilu


Jogja, 3 Mei 2013

Ibu

Ibu,
mengalir tiap titik simpul dan gurat rautmu
di tiap titik nadiku
senyummu abadi, seperti abadi kasihku padamu
kupahat erat di dinding jantungku
dan pendarnya kuhembuskan di peraduan sunyimu
agar menjadi jembatan pelangi
untuk kita di jamuan surgawi menari


Kaki Merapi, 22 Des 2011

Di Kebun Tebu

Lalu waktu bergegas gegas
seperti cemas yang sedang berkemas
siapa yang telah menggenggam rindu
pucuk pucuk rumput mendadak layu
di batas akhir tatapan senja

Di sini,
di senja bungsu ladang tebu
kuhirup lagi kenangan engkau dan aku
dan kulesakkan di selasar hati

sebelum waktu bergegas menjemput
mari sejenak lagi kita berpagut

Dendam cinta ini masih membara
meski ditelikung fatamorgana


Jogja 2 November 2017

Waktu Berlalu

di jauh pandangan
kenangan menggelinjang
duhai, masa demikian bergegas
usia pun semakin meranggas
tanggal satu demi satu
ke tanah basah


Jogja, 30 Oktober 2017

Setengah

Apa yang harus kutulis
tiap kali hendak terbentuk kata
ia membuyar oleh desir tanpa nada
setengah tubuh menggelegak
setengahnya menggeletak


Jogja, 18 Februari 2018

Ngantuk

bangun pagi memeluk lunglai
semalam segala jurus sudah kumainkan
tetap saja mata tak mau terpejam
hingga tiba tiba pagi mengetuk jendela

aih, di kantong mana musti kusembunyikan
rasa kantuk ini


Jogja, 20 Februari 2018

Doa Doa

Aku tentu saja tidak bisa membuktikan validitasnya, tetapi aku sekarang meyakini betapa ribuan doa doa yang melangit untukku telah mengetuk pintu ilahi, hingga DIA berkenan memerintahkan malaikatNYA untuk turut campur dalam proses medis yang kujalani.

Tgl 1 Desember 2017 dini hari, hari jumat maulid nabi, benturan itu demikian dahsyat menggiriskan hati. Menghasilkan wujud muka mobil yang menyatu dengan tengahnya. Ringsek. Hancur. Aku di dalamnya.
Thian jen da ai wo, Gusti Allah masih welas, masih tresna padaku; maka tidak dihentikanNya nafasku, meski kesadaranku disimpan di dedaun pohon pohon tanpa nama.
Aku percaya, ini karena ribuan doa doa yang melangit.

Setelah beberapa kali operasi pembersihan luka, bongkar pasang jahitan, luka luka utama pun mengering. Tgl 12 januari 2018, operasi pasang pen di lengan atas dan tendon patela (lutut) kiri. Dua minggu kemudian di tgl 25 Januari 2018, operasi pemasangan pen di lengan bawah. Sebuah operasi berat sebab kondisi yang sudah terlanjur parah. Menyambung tulang tulang rompal tentu tidak sama dengan menyambung tulang patah utuh. 10 hari kemudian, sembari tertatih dan menahankan sakit, aku memulai dua kelas pertama semester genap.
Aku percaya ini semua karena ribuan doa doa yang melangit untukku.

Banyak yang bilang aku nekat, ada yang bilang aku terlalu, sebab luka luka bedah masih baru. Tetapi aku percaya ribuan doa doa yang melangit membuatNYA menjagaku. Kata orang Jawa lama, the guardian angel panjenengan tansah wungu amargi pamuji saha dedonga treping ati para sedulur tanpa wates; yingwei wo xiangxin thian jen da ai wo.

Ribuan doa doa yang melangit itu
pun membuatku berjuang
berjibaku keras
untuk kembali waras
bukan meranggas


Jogja, 20 Februari 2018


*secuil catatan hati
rasa syukur yang sulit kumengerti

Aku Melihat

aku melihat
sungguh lihai kekasihku
merawat luka luka ku
maka darinya aku belajar pula
merawat segenap hatinya
agar tak lagi terluka
paling tidak olehku



Jogja, 28 Februari 2018

Lillahi Ta'ala

berdamai lah dengan seluruh rasa
demikian kekasihku berkata padaku

malam demikian ranum
aku terjaga tanpa senyum
ada riuh kecipak di kepala
menghitung hari tanpa suara

alam sudah menggariskan sebelum nafas ditiupkan
seberapa besar setiap salib musti diemban
tak lebih tak kurang
ia adalah pupuk juang bukan erang
seperti ranum malam yang layu oleh pagi
ia layukan senja untuk datang kembali
maka, tak ada yang abadi
seperti musim, setiapnya akan berhenti
berganti

maka tatapku berbinar kepadanya
kubisikkan juga padanya
inna sholati wa nusuki
wamahyaya, wamahmati
lillahi ta'ala
lillahi ta'ala
lillahi ta'ala


Jogja, 2 Maret 2018