Kamis, 30 Desember 2010

Sebuah Warta

Sebuah warta
membawa langit runtuh
menghujamkan ceceran sembilu
pada seluruh asa di kepala
mengundang lebah-lebah berdengung
mematuki madu yang baru tumbuh di jantung
seperti pohon di musim kemarau panjang
dedaunan meranggas menyisakan kerontang
seperti besi tertumpah dari tungku bakar
menyisakan leleh berserakan

Sebuah warta
membawaku seribu kelu



Yogya, penghujung 2010

Bayangan

Sepotong sajak teronggok di kepala
tentangmu
ia bercakap soal perasaan,
soal cinta
kata orang tanpa noda,
tanpa cela
bila rasa tlah bercabang, itu hanya
bayangan
semu
tak sejati
aku tlah tersedak cinta
bayangan


Yogyakarta, desember 2010

Rabu, 29 Desember 2010

Seraut Wajah

Seraut wajah
memburai pada embun angkasa
menyisakan serpihan airmata runtuh pada tanah
tempatku berpijak
menelusup menyisir nadi
mematuk jantungku
aku gemetar
terlepas sendi

Seraut wajah, lelah
meremas jalinan sarafku

Tuhanku,
inikah dosa itu?


Lereng Merapi, penghujung tahun 2010

Minggu, 26 Desember 2010

Ada Yang Mengusikku

Ada yang mengusik porosku
ributkan senja hidupku
menghadirkan realita baru pada sudut masa
yang semestinya laut biru
Cinta tanpa keriuhan
adalah jalan
buntu dengan sesak kendaraan
membisu


Lereng Merapi, ujung desember 2010

Di Teras Rumah

Aku duduk di teras rumah
baru saja usai hujan rimbun tercurah
anakku dari lelapnya terbangun
mendekat dan rebah di pangkuan
wajahnya kupandangi
beginilah aturan hidup
senja semakin menua
harus siap diantar sang pagi
menuju peraduan abadi


Lereng Merapi, ujung desember 2010

Usai Hujan di Desa


Hujan baru saja usai
ladang singkong dan jagung menebarkan aroma
tanah basah
dedaunan masih meneteskan sisa-sisa air hujan
oleh angin sebagian rontok menghiasi jalan
terlindas kaki-kaki kendaraan yang lewat
membisu
Beginilah menuju senja
ada yang hilang saat usai hujan di desa
sekejap angin dan sepintas hujan
membawamu merana


Lereng Merapi, ujung desember 2010

Selasa, 21 Desember 2010

Sekujur Sesal

Kutundukkan hati tuk bertelut
merasuk dalam angin yang membias tubuh
kurentang sepandang rasa dalam hidup berkabut
mendesak sekujur sesal
lewat tetes-tetes berpeluh
dan doa-doa mati di mulut berjejal


Yogyakarta, oktober 2006

Senin, 20 Desember 2010

Belati di Rusukmu


Seribu bergolak menyesak, meregang
mencari celah di antara serpih syaraf menegang
seribu nafas memburu
tak jeda memacu paru-paru menghirup sembilu
perlahan memudar karang batin tersapu
geriap bayang impian semu

Pergulatan ini mesti berakhir
tapi datang selintas tanya, “bagaimana?”
Tiba-tiba di tanganku tergenggam belati
terayun dan menikam rusukmu...


Lereng Merapi, desember 2010

Senin, 13 Desember 2010

Wolf of Merapi II

I’m a wolf, sneaking around the mount
I saw odd creatures of two legs crawling
they pawed the blackish grey ground
with their odd five claws
to the herds their cunning red eyes
suspiciously lurked
they ate ruins
black burnt bones they chewed
golden stones they swallowed
their mouths grumbled solemn words of philanthropy

I’m a wolf, wondering all the time
what teeth and bellies these creatures have
I’m a wolf, groaning alone in a broken dome



Slope of Merapi, December 2010

Wolf of Merapi

I’m a wolf, howling in a howling night
wandering around under the rain of ash and dust
the breeze is thousand needles stabbing my bony limb
leaving hundred deadly pains
through the very depth of my bones

the ground is soft,
so soft that my body trembles stepping on it
on the ground, shallowly buried countless bodies
scattered
black, brittle, burnt bones scented
death the aroma of the sphere

I’m a wolf, howling in a howling night
wandering around for meat to eat
there are but ashes, dust, and over burnt things
to meet
and grey and black the sphere is

I’m a wolf, howling in the painful nights



Slope of Merapi, December 2010


Pertanyaan Padamu


Mintalah, maka kau akan diberi
Sudah kuminta, kumohon dengan darah
mengalir dari pelupuk mata
hampa
Ketuklah pintu, maka kau akan dibukakan
Sudah kuketuk pintumu, bahkan kugedor dan kudobrak
kosong
melompong
Apakah aku salah meminta
Apakah aku salah berkata kata
Apakan salah caraku mengetuk pintu
Mungkin aku tlah buta
mungkin aku tlah tuli
mungkin aku tak mau berfikir
karena malasku
karena tertutup hatiku
atau karena aku tak mau tahu …


Lereng Merapi, Desember 2010

Questions to Heavenly Lord


I met thee on the crossroad of my dream
then I asked thee the way my dream should go
Thou gave me a four-way beam
and asked me which wind I should blow
I again met thee under the blue of crying space
to thy see my bleeding cracked soul I gave in
then thou to me handed with grace a roll of lace
to darn the torn into my heart I let it in
Thou said, “A misery is a flame to wash the dirt away.”
“But how can I endure this long heart-breaking agony,” I replied


Lereng Merapi, Desember 2010

Kalau Saja Kau Tahu


Kalau saja kau tahu
ada yang berbisik di malam-malam kita
yang selalu tersekap selimut,
kalau saja kau mengerti
ada yang menguntai pucuk-pucuk randu
menjadi peraduan mimpiku
kalau saja kau sadar
ada yang mengguratkan hasrat
pada dinding-dinding sepi kita
tapi kau tak tahu
kau tak mengerti

Jemari ini menyimpan amuk rasa
buku-buku hati ini menuliskan bias kita
dengan tinta yang tak terbaca
guratr-gurat usia tlah memendam seribu peluhnya
terpaku
tapi kau tak tahu
kau tak mengerti.


Lereng Merapi, Desember 2010

Behold Me Lord

It is true everything bows down on thee
As the stones keep aside when thy shadow breeze
And the trees nod for thy steps in peace
And the hearts of joy upon thee to flee
When I gain my coin of life in the dream of gloom
With a diamond of lies sparkling on my dome
And the top of my head looking up to thy home
Then I start to know I dig out my tomb
Behold me Lord,
Behold me Lord,
This trembling soul cries from the black land of hope
Crawls with the dust of sin squeezing my throat

Behold me Lord …
Behold me Lord …



Yogyakarta, October 2004


Rabu, 08 Desember 2010

A Sonnet of Rain


The pouring rain makes the ground wet
my thought flies to forbidden heaven banquet
and we transgress the beauty of gloom
cracking the doors of the forbidden room
A cup of venom wine on trembling hands
waiting for the passions to make it end
Our senses, the fakest dream, rolled up and down
and sins were dancing on us on and on
I left the chapter, drowned into another
like stranded water searching its way out
creeping tiny cracks, crawling over my soul.
The rain draws faces like snow in winter
then I need silence dagger to tear them out
and break this scattered faith into one pole.



Lereng Merapi, December 2010

Adakah ...

Adakah rindumu sehebat rinduku
yang mengguncang seluruh sendi dan
membangunkan getar pada setiap bulu
tubuhku
Adakah rindumu sekelam rinduku
yang mampu menutup senyum rembulan
pada pucuk-pucuk dedaunan
Aku merindumu
seperti nelayan menyambut musin ikan
seperti petani bergegas pada padi-padi bunting
seperti singa lapar di kerumunan kijang
Adakah rindumu memadu rinduku
seperti bunga menyambut datangnya kumbang
yang ’kan menghisap habis serbuk sari
seperti embun menyambut sapa matahari
dan melebur bersama angin
Aku merindumu
seperti sejuta seperti
tanpa henti ...


Lereng Merapi, awal December 2010

Rabu, 01 Desember 2010

Di Selasar Mimpi

Remukkan hatiku
seperti kala kau luruhkan kuncup angan
terkulai layu
sebilah katamu adalah bulir-bulir pasir
berderak di relungku

Di simpang itu hadirmu menyapaku
tiba-tiba matahari enggan berbagi dengan senja
aku tergagap dan kelu
luruh pada kemilau lembut pesonamu

Waktu adalah panah membelah udara
di sana, di selasar mimpi kau berdiri
membawa setangkup mawar berhias belati
yang harus kusematkan di dasar hatiku
yang paling sembunyi
engkau hadir sebagai bunga
dengan sari yang tlah terbagi

Puisi kita robek dan terburai
oleh belati sunyi


Lereng Merapi, awal Desember 2010

Selasa, 30 November 2010

Padamu Negri

Merah padam negri ini
oleh para pencuri di gedung-gedung tinggi,
di rumah-rumah suci,
dan para kuli berdasi.

Nyanyian korupsi menjadi paduan suara wajib
perselingkuhan administrasi menjadi tradisi
siapa tak mau berbagi, dia akan merana sendiri


Merah padam negri ini
oleh penyanyi sumbang di gedung perjuangan
demi recehan uang
oleh badut-badut yang menjejalkan isi negri pada perut
oleh para pendekar yang terkapar demi lembar-lembar


Merah padam negri ini
oleh akademisi yang hanya berkutat dengan mimpi pribadi
oleh mereka yang hanya berkata-kata
oleh kami yang hanya bisa berpuisi


Negri ini tlah kehilangan hati.




Jogjakarta, awal Desember 2010

Aku Mati

Gemetar remukku karna bayangmu
dalam desah cumbu dan lenguh renjana
antaramu dan dia
aku tiba-tiba mati
karna hujam duri pada bunga angan
robek
layu
luruh
merana
aku mati ......


Jogja, awal Desember 2010

Selasa, 23 November 2010

Rinduku Padamu

Hujan baru saja usai bergendang pada bumi
menyisakan larik pelangi wajahmu pada desir pepohonan melambai
jarak waktu tlah meminangmu dari pagut jemariku
kusut dalam rencah ingatan yang menua
namun darah tetap menggumpalkan rindu
pada setiap nadi

Gemulai rumpun padi
mengisahkan kembali janji usang antara hati
tak melapuk oleh panas dan hujan sang waktu
mengentalkan rautmu pada gigir hasrat tak bertepi

Kekasih,
rinduku padamu
adalah padi bunting tak tertuai


Yogyakarta, akhir November 2010

Rabu, 17 November 2010

Takbir

 
Takbir menggetar membelah angkasa
jatuhnya adalah ujung-ujung jarum
pada lapis jiwa yang mengeras batu
memberi gores-gores darah hitam
menggumpal karena keangkuhan.

Di setiap jeda adalah perih hati melayu
hidup menjadi jejak catatan yang melangkah goyah
oleh doa serupa desah pada timbunan dosa
menyampah di setiap aliran darah.

Di setiap jeda adalah liuk hasrat
termangu di simpang keyakinan,
hitam putih mengabur dalam jejak langkah
tersujud pada gigil doa-doa keinginan dan pertobatan
tersungkur pada rimba kemunafikan
belantara kekelaman.

Takbir menggetar membelah angkasa
doa-doa dan dosa-dosa menjadi gelimang
tobat kehilangan sukma
karena mengeras batu jiwa-jiwa kembara
dan menggumpal darah hitam
oleh keangkuhan.


Yogyakarta, November 2010

Tidurlah

Kekasih,
lihatlah awan berkejaran mengarak matahari mengusap hati kita.
Kilaumu adalah dedaunan pagi berpucuk embun,
sekejap mengurai pesona merasuk jiwa.
Senyummu adalah melodi pemain harpa mendawaikan lenguh cintanya.
Dia tebarkan nada menelusup udara,
menyesaki kepala kita tentang asmara di mimpi awan.

Malam tlah larut, tidurlah tidur kekasih.
Kukirimkan rindu lewat denting angin menelusup hatimu,
agar mimpimu berselimut hangat paduan angan kita.


Yogyakarta, November 2010

Desah

Wajahmu hadir berselimut kabut
lumer dalam tungku jiwa

menelusup dalam tiap bulir darah
aku mendesah
pada sepenggal rembulan malam.

Ada yang tersisa dari pergumulan hitam
wajahmu tengadah
menyambut kecupan sebilah buluh cinta terkejam
matamu terpejam
merintih dalam hujam sepucuk rindu terlarang
aku mendesah
pada sepenggal suram rembulan malam


Yogyakarta, November 2010

Kamis, 11 November 2010

Daun Luruh

Daun-daun luruh,
satu-satu menyapaku
membawa berita tentangmu yang tak mungkin
teraih dalam pelukku.

Tanyakan pada mimpi
rasa apa yang sedang bersemi
tanyakan pada hati
bayang-bayang yang datang pergi
dalam resah tak bertepi


Yogyakarta, November 2010

Merapi - Mimpi

Hujan deras tercurah
membawa banyak hati resah
akankah mimpi terkulai
sebelum sempat senyum tertuai?
Yogya, November 2010

Minggu, 31 Oktober 2010

Wisuda

Kawan,
jika tawamu pecah dalam gamang,
jika sendaumu adalah senyap yang merias diri,
tengoklah
mungkin engkau tengah berdiri
dinanti gulita tanpa tepi


Jogja, akhir Oktober 2010

Kamis, 14 Oktober 2010

Paradoks

Tikamlah aku dengan puisi
dan buraikan dengan sajakmu
biar terkapar jiwa dalam neraka cinta
dan terkubur dalam surga luka...
 
Yogyakarta, Oktober 2010

Selasa, 12 Oktober 2010

Meregang Nyawa

Jutaan kubik air bumi menyalami kota-kota
jutaan kubik air menetes dari raut muka
antar moda tak lagi tahu waktu dan arah dituju
menumpahkan banjir merah putih
dan jerit membahana kelu

Bumi menari liar
karena kita bermusik dan berdendang sumbang,
Matahari menyorotkan angkara
karena kita menantang murka,
meremah sudah batas siang dan malam
dalam setiap langkah yang semakin kejam

Kata-kata adalah nyata
dan tindakan adalah maya
tak ada lagi tempat untuk meletakkan percaya
tinggal waktu tersisa meregang nyawa.


Karanganom, Oktober 2010

Selasa, 28 September 2010

Sepiring Bubur

Sepiring bubur di atas meja
di ruang senyap hati
asapnya mengepul,
membumbung lemah disergap gelisah,
jejak kaki pada lantai tanah
melesakkan debu gundah pada rongga dada,
baru saja usai sebuah tragedi
tertinggal sepiring bubur layu di atas meja
terkubur jejak kaki
dan keluh kesah adalah derai
yang tercecap sepi...


Lereng Merapi, akhir September 2010.

Minggu, 19 September 2010

SENDIRI


Mari, mari,
peluklah malam agar hangat hatimu
dan tak sendiri diammu
lepaskan bebanmu dan kosongkan dirimu
biarkan dedaunan memberi semilir desau
angin pada hasratmu yang kelu.

Mari, mari,
reguklah embun yang menanti di ujung relung
agar menari desir darahmu
dan berpendar matamu
biarkan rembulan membelai kusut rambutmu
dan merapikannya di dasar hatimu.

Mari, mari,
rebahkan tubuhmu pada angin
dan biarkan sembilu mencecapmu
hingga kau rasakan keriuhan sepi
dan gigil malam yang mematuk jantungmu.

Mari, mari,
tak ada lagi yang perlu ditunggu
semuanya tlah lumer dalam tungku penantianmu.

Lereng Merapi, jelang akhir September 2010.

Kembali Padamu


Cinta tak pernah bisa diduga
rasapun sering tak bisa disangka
hingga sering tercipta luka dan lara.

Kasih, berjuta pendar tlah buat aku terlena
berjuta angan bawa aku kembara
hanya suka sesaat
hampa belaka
kembali padamu
adalah cinta yang nyata
pelabuhan jiwa tanpa masa

Penuhilah jiwaku
genapilah mimpiku
agar pendar tak lagi mengganggu
agar angan tak lagi menawan
karena kosong jiwaku adalah mimpi burukku
karena dirimu adalah mimpi cintaku…
tanpa waktu

Kasihku, istriku,
kuingin jiwaku selalu
menyatu dengan jiwamu.


Karanganom, Juli 2009

LEBARAN

Lebaran...
adalah keabadian dan keagungan warna


yogyakarta, awal sept 2010.

TOPENG


Banyak topeng bertebaran
warnanya berubah-ubah dan mimiknya bermacam-macam
ada tawa sumbang,
bibir mewek,
mata merah menyala,
kulit keriput tersenyum hampa,
ada yang mringis,
mulut tertawa menerkam,
lidah menjulur berkepala ular,
hidung menjungkat runcing menusuk jiwa.
Sepertinya sang pemahat perlu memperhalus pahatan
agar tak bermutasi menjadi monster
menghantui jiwa kanak-kanak
sebening embun pagi.

Banyak topeng berkeliaran
sosoknya beraneka ragam
ada yang sinis mencibir,
mulut peyot tersenyum malu,
wajahnya garang membakar siang,
ada pula yang berkedip main mata menawarkan rayu,
menjual susah memberi gelisah.
Sepertinya sang seniman perlu memberi kekang
agar tak lepas semua menjadi liar
menghantui jiwa kanak-kanak
sebening embun pagi.

Banyak topeng di mana-mana
topeng siapa
atau mungkin topeng kita...


Yogyakarta, medio September 2010.

AIRMATA


Sudah yakinkah kau dengan air matamu
atau kaupun ingin aku berdansa dengan ngiluku?
Sedang kembangpun tak berdaya saat dipetik,
kupaku dinding hingga memerah tetes hatiku.

Jadi begini akhirnya
sementara adonan rasa masih bergumpal di sana-sini
air matamu dan ngiluku hanyalah gemetar daun
yang merontok dari tangkainya

Jangan lagi berpuisi
enyahkan dari hatimu dendang dawai
agar air mata tak lagi mengalirkan ngilu;
mari kita bercerita merajut kain baru
tanpa perlu melanjutkan renda yang telah koyak.

Berikan senyum pada air matamu
akan kupetik daun basah
agar dingin hati kita yang merah.


Yogyakarta, medio September 2010.

MUDIK


Ribuan mobil dan motor bergerak
seperti ribuan semut tanpa sang ratu
seperti lenggok ular tanpa kepala
seruduk sana, seruduk sini
senggol sana, senggol sini
selip sana, selip sini
di mana celah, di situ muntah
berjubel dengan maki dan serapah.

Penat sudah jalanan menyangga
menampung darah dan memeluk nyawa sia-sia

Bumi gemetar
puasa memudar
dan takbir membahana
bergulung dengan angkara

Mudik,
adalah potret pemimpin kita



Yogyakarta, September 2010


SUDAHLAH


Sudahlah...
memang begini inginmu
atau mungkin juga kita
lidah ini sudah keriting oleh lautan bunyi
yang bahkan mengoyak angkasa sunyi
namun tak berdaya mengurai kesadaranmu
menjadi sekedar ketukan desah.

Hatimu tlah kelu oleh gemerlap tahta
jiwamu terkunci oleh tembok ketakutan
maka terbang semangatmu dalam kelam
terkubur lautan dalam
teriakku hanyalah detak arloji
pada dinding keriuhan
tak sanggup membuatmu berpaling.

Sudahlah...
sudah kubuat apa yang mampu kubuat
dan kau, kalian
memang tak punya tekad
tunduk pada tetangga mungil yang hanya
punya lidah untuk bersilat.


Surabaya, September 2010.

Jumat, 17 September 2010

MASA


Dulu seperti anak panah lepas dari busur
membelah angin menghujam dalam
seperti batu karang menantang gelombang
seperti air meliuk, menerobos, dan melesakkan aral.

Dulu adalah hutan rimba memberi nafas bumi
adalah desau angin meluruhkan penat jiwa
adalah bening air melunturkan daki hati.

Dulu adalah hentakan musik berdentam di telinga
adalah puisi cinta menggelorakan darah semesta
adalah bayang yang kini menunggang
matahari di ufuk barat.

Tertumpuklah nyeri oleh revolusi bumi
melunglai sendi-sendi alam oleh gerak kemajuan
belantara buatan subur mewarnai bening air
mengoyak desah angin,
membawa geriap panas menyesak jiwa.

Dulu adalah memori kelu
berharap kini bukanlah sembilu.

Aku terpaku
luruh oleh gemerlap semu.


Yogyakarta, September 2010.

Letih Rindu



Diamku dipatuk ribuan bayang
berseduh asap ditelan senyap
dedaun basah dan cemara dalam malam hitam
dengung katak sayup oleh jarak
nyanyi jengkerik menusuki hati
maka hadirmu mengetuk tegunku.

seperti itulah tatapmu
telusuri aku lewat sepenggal bulan
teduhkan aku pada gigir malam
meremas rindu awan yang tak lagi mampu
uraikan hujan.

seperti inilah senyummu
luruhkan geriap jiwa pada lambai bayang cemara
usapkan basah dedaun pada sekujurku
menepis kering hati.

Tuhanku,
esok aku datang pada rumah sunyi abadi
tapi tak lagi bisa kutemui tatap mata
dan senyum membuai hati.
Tuhanku,
ini diamku
letih rindu.



Malang, September 2010.

NYEKAR


Aku datang bersama seleret duka membayang
menapaki ranah sunyi rumah abadi
sekujurku rinduku tak bersambut
membumbung dan disergap senyap
doaku desah dedaunan dan liuk cabang-cabang kamboja
tari rerumputan liar
dan gemeresak  serangga bumi

Aku datang tanpa pulang
berdiam menatapmu berselimut sunyi
Tuhanku,
jadikan sunyi hening
maka desah dedaunan dan liuk cabang-cabang kamboja
tari rerumputan liar dan gemeresak  serangga bumi
adalah puisi di rumah sunyi abadi.



Kediri, september 2010.

Kamis, 02 September 2010

SERIBU INGIN...

Maafkan aku... karna tak mampu membendung lajunya rindu
yang tiba-tiba menggebu...
yang tiba-tiba mendesah dalam sepintas gumpalan tatap
yang mudah pecah...
yang tiba-tiba menggelinjang menyusuri segenap syaraf-syaraf
yang mengencang...
yang menorehkan pedih saat kenyataan angan
mulai lemah tertatih-tatih...

Maafkan aku... karna sekejap sua menuai cinta
dan memupus mimpi mungkin saat hari berganti
dan kembali sepi menghangati diri
... karna terpendar kerling memaksaku berpaling
padamu ketika kita tak bisa bersaling....
... karna serekah tawamu membasah jiwaku...
mendekapku dalam ilusi musim semi
yang tak kuingin semu

Maafkan aku... karna tlah memberimu rindu
dan tak mampu memberi walau sekedar kecup
penghangat harapan yang mungkin kelu...
... karna menguntaikanmu cinta
dan tak mampu memenuhkan walau sekelumit makna
penebus sepimu dalam kelamnya angan-angan...

Maafkan aku... walau kuingin
seribu ingin
menjadikannya nyata
menjadikannya nyata
dan menjadikannya nyata
untuk kita...
Walau kuingin... seribu ingin...

What more words can I say

What more words can I say
For all words the meaning cannot stay
That look, to me it talks
That the dream and the fear
Shall break the heart away
But, what more words can I say
For all words the meaning cannot stay
It was the joy within
Throwing all the lines about to drain
When I have thee here, smilin'
Just look into my eyes
And drown into the depth
And shall the ego decay
Until united we'll be in far away.


Jogja, December 2000

SEPERTI DULU

Lambaikan anganmu tuk bantu mengayuh bidukku
rentang sang kala tlah di depan mata karna aku melaju
sementara engkau di batas cakrawala menatapku

Di sini tengah kubangun pondok kedua kita
coba kau lihat, ada potret kita
bibirmu merekah, wajahmu tengadah,
dan tanganmu terentang, engkau berlari padaku mengusir gundah

Ada empang dengan ikan berpasang di bawah dan
katak berpasang di atas teratai putih tak pernah layu
Ada serumpun bambu dan sepasang kupu bercumbu melindas waktu
Ada angin di sini menemaniku
dia akan datang menjemputmu
membawamu lagi padaku, seperti dulu.


Jogja, Juni 2010

Senin, 30 Agustus 2010

Belantara Jiwa

Kekasih,
jalan setapak ini berakhir di mana,
dia seperti lekuk tubuhmu tanpa ujung henti
dipandang mata lelaki,
bau basah pohon dan rerumputan
menyumbat sekujur getar,
senyap terhampar pada rimbun dedaunan.

Kasihku, kasihku
nyanyi burung dan dawai jengkerik
menuntun jiwa terlena pada kembara belantara,
sematkan mantra alam pada buncah rindu
yang tak mengenal bayang.

Belantara ini adalah persetubuhan bumi dan matahari
yang memuntahkan percik-percik keriuhan sunyi
merambati segenap semesta jiwa,
melahirkan kelok sungai menyusuri gigir bumi,
membawa sunyi berpuisi.



Karanganom, akhir agustus 2010

Luka Ini Sunyi

Sekejap laraku terbanting pada senyummu,
saat kau lambaikan angin berpasir dari hatimu.
Apakah engkau yang hadir menunggang kuda liar
dari surga mimpi?
Karna jejakmu jelas tergambar
pada dinding retak di pelupuk mataku.
Coba katakan pada luka
gemulaimu adalah sakit tak terkata pada rasa.
Atau engkau mungkin enggan berbaku sapa.

Kisahku tersandung bebatuan catatan hidupmu
yang terserak pada kelam,
jejakpun tenggelam.

Cobalah kau urai gemeretak rasa yang tertindih senyap,

luka ini sunyi

Sejenak laraku terhujam pada senyummu,
gelisah pada lampu jalanan tersaput temaram,
mungkin detak gundah bersabung
di linang pelupuk mata,

luka ini kembali sunyi
atau engkau mungkin enggan berbagi…


Karanganom, akhir agustus 2010.

Pertemuan di Pelataran Sunyi

Kita berjanji bertemu di pelataran sunyi.
Engkau katakan akan datang membawa segumpal seyap
dan aku akan datang membawa setangkup sepi,
lalu kita akan berbagi rasa yang merintih di sudut hati hingga luruh janji yang tak pernah mengenal pagi.

Kau datang dalam gemulai angan menyambutku sepenuh hasrat tertahan karna mimpi-mimpi yang terlalu pagi.
Kemudian kita menata nada jiwa dan menyanyi dalam alun sunyi.
Kau tanya arti perih saat sunyi membelit tangan kita yang gagap menggapai matahari.
Kau tanya makna luka saat senyap menggelayut geriap rasa yang tak mampu menggenggam jemari mimpi karna pagi tlah keburu mendahului.
Kau tanya dimana bersembunyi duka, kepingnya menorehkan senyap, meneteskan darah dari jantung yang lepas tak bergantung.

Kilau matamu menembusi dingin suasana mengusir angin yang ingin mencuri nyanyi sunyi kita.
Lalu kucoba urai dengan jemari sunyi yang kau bawa saat kita jumpa.
Kulihat senyummu hanyut dalam gelombang awan di ufuk sana,
sunyimu yang satu mengurai rambutmu tergerai lepas,
tetap saja tangan kita gagap menggapai matahari.
Kugantungkan senyap pada dahan di atas bayang kepala kita.
Dia meneteskan belati maka angan dan mimpi kita tak sempat bertemu matahari pagi.

Nganga luka adalah kelam senja.

Kita seharusnya bertemu di pelataran sunyi.
Tapi engkau terbelit sunyi dan aku terperangkap senyap.
Kita seharusnya bercumbu di pelataran sunyi.
Tapi engkau terbuai sunyi dan aku didekap senyap.

Engkau dan aku adalah nyanyi sunyi,
adalah nganga luka di kelam senja.


Karanganom, akhir agustus 2010.

Rindu Sendiri


membuncah sudah rinduku padamu
tuk tumpahkan penuh hasratku menyatumu
dalam gairah cinta yang menggelegak
karna jarak dan waktu yang tak jua saling menyapa

mungkin hanya angan dan sendiriku meradang
memaksa sketsa kabur bayangmu dalam rengkuhku
mereguk bayang-bayang manismu dalam lenguhku
dan memancarkan lava panas rinduku dalam sendiriku
tak jua tubuhmu menyambutku....


Minggu, 29 Agustus 2010

Pewaris Negri

Sudah berkalang tanah mereka dalam cinta pada republik ini,
yang dulu berkeringat darah bermandi dentum mesiu
meneriakkan kata merdeka.
Tuhanku, lelapkah tidur mereka
padahal ranjang mulai terkoyak srigala tetangga,
ataukah tak pernah meram jiwa mereka
karna pertiwi yang dikhianati.
Kini kami para pewaris negri,
mengaum ganas pada anak-anak kami
kala mereka bertingkah,
tapi mendengking meratap-ratap
kala tetangga memelototkan mata,
seakan menatap monster raksasa sedang murka.
Kami yang lantang berkicau tentang kepemimpinan,
kedaulatan, demokrasi, dan perdamaian pada rakyat kami;
ternyata hanya mampu berkata, "Duli Tuanku,"
kepada tetangga cebol yang tak tahu malu.
Tuhanku,
sesunggunya kami adalah pewaris negri
tanpa hati; tanpa harga diri...


Yogyakarta, akhir agustus 2010

Senin, 23 Agustus 2010

Sepenggal Rindu

Kuhirup manis bau tubuhmu
dan berpendar dalam percikan-percikan
kilat menyelubung pikiran
dan rasaku
Kukecup geliat tubuhmu
menggelinjang tegang meregang angan-angan
menangkup segala keinginan
dan membuncah basah sekujur hasratku
Pelan langkah jari telusuri getar hati
dalam gelora yang tak pernah mengenal senja
walau panah sang waktu melesat merenggut hasrat
dan lembayung mulai mengambang
tak pernah lekang dahagaku tuk menuai rindu.


Jogja, Mei 02

Langitku

Engkau melucu pada dunia yang tengah gagap karena geriap hasrat yang belum pernah lengkap,
sementara beribu mimpi disekitarmu menantang rengkuhan pada pijar matamu.
Coba gosok lebih dalam gigimu, anakku,
tapi jangan sampai mengalir darah dari luka semesta yang ingin menciummu;
maka gigimu akan semakin memutih
menguliti jiwa dan tubuh kami yang tlah tebal oleh kutukan debu keinginan.
Di salah satu gigi mungilmu ada sepotong bercak, mungkin sisa
potongan tahu atau yang lain yang dibuang
oleh bayangan kelam di sudut taman rumput yang kemarin kita injak
dengan gembira.

Aih, luapan dunia pada raut wajahmu melenaku dalam sayap-sayap kemurnianmu, Langitku.


Jogja, akhir agustus 2010

Selasa, 17 Agustus 2010

PUASA II

Angin membawa desah senja
mengusap gerit hati menanti detik,
menghantar sangar matahari menapak
gigir peraduan semesta.

Kumandang puja membelah angkasa
demi merengkuh bumi ilahi,
gaung para malaikat mungil melantun
menembus batas semesta,
menguap gigil ombak geriap menemu pantai,
meruyak dendam air bersulur mengecup samudra,
seperti awan merindu hujan agar melebur alam.

Maka ketika detak beduk mengetuk pintu surga,
sempurnalah kisah abadi cinta ilahi.


Lereng Merapi, agustus 2010.


SESAL

Ada sebatang jarum jatuh berdenting
mengiris ruang jarak
suaranya mematuki batu pada hati,
siapa yang menepis kelebat bayang di tengah kelam?

Tetes-tetes air menghujam bumi
berdentam pada gigir sunyi,
resapnya meremas dingin ngilu hati,
mengusik penat sekujur
yang legam oleh geriap senyap.

Waktu
adalah yang terlahir dari persetubuhan
esok dan lalu;
ditelikung oleh kembara bayang
angan dan kenangan,
hilang bersama luka sesal
seolah air dalam genggaman.
Siapakah yang mengharuskan
semestinya... ?


Lereng Merapi, Agustus 2010

Senin, 16 Agustus 2010

You sounded so wisely, Sir

You sounded so wisely, Sir
for the words you tried to be truly honest
It's still in the morning that
excuses should not be

Things were wrong we considered so long, Sir
The answers were so fine till they were out of line
Just look at the core we avoid it is to bore
Truth and plain there shall be that you are to explain
for not an effort to entertain we expect to gain

You sounded so wisely, Sir
with a cloudy smile you thought we would buy
with a fatherly look you thought we would think the truth
Get over, Sir
for the time is running out
and the words have been so loud
But what things do you think to gain
for every thing pouring is just in vain.

You sounded so wisely, Sir
Time is over.


Yogya, 25 Nov 05