Jumat, 17 September 2010

MASA


Dulu seperti anak panah lepas dari busur
membelah angin menghujam dalam
seperti batu karang menantang gelombang
seperti air meliuk, menerobos, dan melesakkan aral.

Dulu adalah hutan rimba memberi nafas bumi
adalah desau angin meluruhkan penat jiwa
adalah bening air melunturkan daki hati.

Dulu adalah hentakan musik berdentam di telinga
adalah puisi cinta menggelorakan darah semesta
adalah bayang yang kini menunggang
matahari di ufuk barat.

Tertumpuklah nyeri oleh revolusi bumi
melunglai sendi-sendi alam oleh gerak kemajuan
belantara buatan subur mewarnai bening air
mengoyak desah angin,
membawa geriap panas menyesak jiwa.

Dulu adalah memori kelu
berharap kini bukanlah sembilu.

Aku terpaku
luruh oleh gemerlap semu.


Yogyakarta, September 2010.

Letih Rindu



Diamku dipatuk ribuan bayang
berseduh asap ditelan senyap
dedaun basah dan cemara dalam malam hitam
dengung katak sayup oleh jarak
nyanyi jengkerik menusuki hati
maka hadirmu mengetuk tegunku.

seperti itulah tatapmu
telusuri aku lewat sepenggal bulan
teduhkan aku pada gigir malam
meremas rindu awan yang tak lagi mampu
uraikan hujan.

seperti inilah senyummu
luruhkan geriap jiwa pada lambai bayang cemara
usapkan basah dedaun pada sekujurku
menepis kering hati.

Tuhanku,
esok aku datang pada rumah sunyi abadi
tapi tak lagi bisa kutemui tatap mata
dan senyum membuai hati.
Tuhanku,
ini diamku
letih rindu.



Malang, September 2010.

NYEKAR


Aku datang bersama seleret duka membayang
menapaki ranah sunyi rumah abadi
sekujurku rinduku tak bersambut
membumbung dan disergap senyap
doaku desah dedaunan dan liuk cabang-cabang kamboja
tari rerumputan liar
dan gemeresak  serangga bumi

Aku datang tanpa pulang
berdiam menatapmu berselimut sunyi
Tuhanku,
jadikan sunyi hening
maka desah dedaunan dan liuk cabang-cabang kamboja
tari rerumputan liar dan gemeresak  serangga bumi
adalah puisi di rumah sunyi abadi.



Kediri, september 2010.