Minggu, 11 Mei 2014

Kutulis Sajak Ini dari Balik Jeruji



kekasih, banyak orang bicara tentang dirimu
sudah berapa ribu liter tinta mengalir
dan terus mengalir
mengabadikan huruf-hurufmu
penuh benci, hujat, dan caci maki

kutulis sajak ini dari balik jeruji
menjadi penanda bahwa detak nadi tak
pernah berhenti untukmu
di lorong-lorong gang
di pinggiran dan perempatan jalan
di toko-toko dan supermarket
di kantor pemerintah dan istana
apalagi di gedung DPR
bahkan di sekolah-sekolah
dari SD sampai perguruan tinggi
tak ada denyut yang tak merinduimu
menyapamu, bahkan menggelutimu

lihat siapa yang sedang bergolek di sana
dijentikkan jarinya, negri ini demam berkepanjangan
demi cintanya kepadamu ia meringkuk
di balik terali ungu

kutulis sajak ini dari balik jeruji
sambil menyeruput kopi pagi yang disajikan penjaga tadi
sepertinya ini kopi Sidikalang yang terkenal nikmat itu
lihat kekasih, untukmu aku tinggal di sini
dengan kopi tiap hari
sambil menulis puisi
ahh, siapa bilang korupsi adalah aib
adalah hina
adalah kusta
sepertinya mereka perlu benggala
bukan sekedar secuil kaca

 Yogya, Mei 2014

Ulang Tahun

Ulang tahun tak perlu foya atau pun mewah
masih tak terbilang di sana, jauh maupun dekat
perut buncit penuh angin berserakan
yang bahkan untuk sekepal nasi pun musti berkelahi dengan maut

Maka sebuah roti dari istri, dibagi seisi rumah
sebuah roti dari mahasiswa, dibagi bersama rekan kerja
adalah kesederhanaan penuh makna, berbalut cinta
kado sepotong hem bergaris cerah
merupa senyum kekasih tanpa jeda
garis tanpa ujung yang menganyam dua hati, dua rasa
dalam satu cinta
dan doa-doa para sahabat yang mengetuk pintu langit
menjadi selimut sujud dan syukur

Tuhan,
apa lagi yang musti kukeluhkan?
sudah sempurna yang ada

Kaki Merapi, 10 Mei 2014

Selasa, 06 Mei 2014

Bilik

pemilu,
di bilik itu kita bertukar mesiu
suaraku dan lembaranmu
tanpa keraguan
tanpa jabat tangan
yang terbentang sesungguhnya
hanya kertas kosong belaka

jogja, 070514

Mati... Suri...

yang ada di benak
perlahan mengerak,
menunggu lunak
menunggu bijak
menunggu
menunggu
kebodohan yang bisu
bergerak
bergerak
yang di benak sudah mengerak
satu, dua, tiga
mati... suri...

Jogja, hari buruh ’14

Pagi

Pagi bersemu rinai
mendung di banyak sudut mata
begitu deras berita mengiris rasa
di nada mana musti disandarkan irama risau
yang tersedia hanya denting sunyi


Jogja, 25 Maret 2014

Kamis, 27 Februari 2014

Hujan di Ujung Rambutmu

Entah apa yang musti kutulis
malam tlah habis tinta
dan pagi masih membuta
tak ada lagi sisa kecuali gerimis

Hujan di ujung rambutmu
mengaliri retak bibirku
lesap di sungai waktu
yang tak pernah lelap

Selamat tidur
biar kata di mimpi bertabur
entah lagi yang tertulis
kecuali hati gerimis

Kaki Merapi, 27 Februari 2014

Selasa, 25 Februari 2014

Di Wangi Rambutmu

Pagi menganggukkan kepala padaku, lalu membetoti ngilu sepanjang lalu malam. Ditarikan jemarinya di kepalaku, mengetuki simpul-simpul membesi di tiap sendi setelah kemarin para serdadu membekamnya dalam tungku abu. Sebuah gulat antara geretak dan ngilu.

Di wangi rambutmu, waktu tlah mengajariku berburu, seperti pagi yang baru saja kau tanam di tulangku. Dan aku akan menuainya nanti, persis saat kau kedipkan matamu. Maka sungai-sungai menari bagimu dan untukku, seolah ia adalah pagi kita.

Aih, kekasih, pagi kita tengah berburu matahari. Mari kita bercumbu.


Kaki Merapi, 18 Februari 2014

Hujan Kata

mereka yang sibuk dengan hujan kata
tengah mengasah parang kehidupan
diam-diam
dan kita menjadi domba
gemuk memamah rumput kata
perlahan ke pejagalan, penuh suka cita
demikian tradisi
aku cemas abadi

coba lihat di tivi, di jalan
bahkan di saku celana
basah kata beraroma mati
batu-batu nisan sudah disiapkan
menyambut riuh pesta demokrasi
sebab para srigala tiba-tiba bertubuh peri
bersuara bidadari

Kaki Merapi, 09 Februari 2014

Ingatmu

rinai hujan ternyata masih menyimpan rautmu,
yang tiba-tiba menelusup lembar-lembar masa yang sempat terlipat.
ada sisi yang termangu...


Kaki Merapi, 8 Februari 2014

Risalah Waktu

Waktu telah mencatat, tetap mencatat, dan terus mencatat setiap titik harap dan rasa, seperti angin yang setia menyapa selepas hujan. Demikian kurisalahkan di jengkal-jengkal jalanan, catatan harian yang kutitipkan pada malam. Di sana ada aroma tubuhmu yang merebahkan pelangi di tiap pagiku. Alam tak mengijinkan untuk lapuk, meski hujan mungkin akan pernah mencucukkan jarum di sudut pori...

Kaki Merapi, 7 Februari 2014

Banjir

Kemudian banjir itu melantak
mana saja
tapi tak sanggup menggenangi hati
coba lihat baik-baik
hujan sama sekali tak membekas
di kerontang mereka

Banjir di mana-mana
proyek basah merajalela
dan nama-nama dijual murah

Kaki Merapi 26 Januari 2014

Yang Hilang


engkau kepadaku
dan aku kepadamu
memijakkan jejak-jejak memendar
meninggalkan toreh luka yang entah
mungkin serupa sakit peluit yang menjerit
memanggil sepi

pada tiap garis rautmu
ada ambang rasa melenguhkan sesah
serupa musim dalam dekap kerontang
tanggal segenap sayap untuk terbang.

jangan kau hitung lagi titik sepi
biar saja menyungai
seperti gerak waktu yang tak kenal gugu
di gigir kedipmu


Kaki Merapi, 21 Januari 2014

Tak

hujan deras dalam hati
dan senja mengucap salam
tetap aku tak ingin rindu ini
serupa banjir tak mengenal kalam


Kaki Merapi, 15 Januari 2014

In Memoriam: Efita Dwi Wisudarini

di titik tawa kau bermula
lalu kau gurat warna warni di bumimu
garis-garis tegas tanpa patah
angin dan bebatuan menempanya
hujan dan matahari menyuburkannya
maka kau tuai anggur
di sela perih menderamu

rinai belum usai
sesap anggur belum berakhir
anak anak rasa mulai menari
sambil menyulam lembar lembar pelangi
kau siapkan keretamu
di simpang pelangi engkau pergi

kami akan selalu rindu pelangi
untuk menarikan hati
bersamamu
lagi
lagi


Kaki Merapi, 16 Desember 2013

Di Selisih Hujan

di selisih hujan dan matahari
tak bisa lagi ingatanku melukis rautmu
meski sekedar sketsa di dingin angin
anak-anak rembulan menuangkan gelap
sementara denting gitar
bersembunyi di punggung daun
kupetik saja dawai di sudut kepala
dan mencoretkanmu apa adanya

Kaki Merapi, 5 Desember 2013

Kepadamu

pada sudut mana musti kutiriskan rasa ini
sementara puisi tak lagi bernyali
di gelombang rambutmu, geloraku sejenak bisu

lama alunku tak berbaku
di diam kata-kata
sedang resah telah pecah
serupa burai angin koyak

malam mulai membatu
dan desah desah memburu
kasihku, kasihku
pada rekah mana kau sisipkan pelangi
yang dulu sempat tak mengenal pagi

hiruk ini
masih melayari dadamu
kelok yang selalu misteri
di bidang mana musti kuhempaskan
riuh cumbu yang termangu

Kaki Merapi 25 November 2013

In Memoriam: Markus Rohadi

Kus, dulu, dulu sekali sempat sejenak kita bernyanyi bersama dalam paduan suara sastra. tiba-tiba waktu menjadi kilat, hanya benih kata di antara kita. tak lebih, tak kurang.

dunia lembar kaca ajaib kembali mempertemukan kita setelah belasan tahun berselang. benih kata dulu tiba-tiba menjadi hutan rimbun dengan matahari pagi dan sungai-sungainya, kicau burung dan nyanyi jengkerik malam. ya, ribuan kata kita sudah berbagi, bak pelangi. aih, pelangi. kau memanggilku begitu, Kus. Mr. Rainbow, begitu selalu tulismu untukku.

seperti dulu, waktu tiba-tiba menjadi kilat. hutan rimbun itu belum sempat kita jejaki bersama, tapi kau sudah memeluk pelangi. aih, Kus, ceritakan padaku kini, seperti apa sesungguhnya indahnya pelangi itu hingga kau sematkan padaku. mungkin juga kau sedang bercanda dengan kerling para bidadari, seperti kerap kau tuang dalam sajak-sajakmu.

Kus, mari, mari kita menari, agar hutan rimbun kita menjadi puisi, dan kelak kita baca bersama di ruang abadi.

selamat jalan kawan. tetaplah berpuisi di 'sana', sebab Tuhan sangat mencintai sastra, siapa tahu, DIA akan membaca puisimu.


Kaki Merapi, 13 November 2013

Sendiri

hujan deras,
mungkinkah rontok karat hati
atau sunyi tetap membelati
di rawa jiwa tak bernama


Kaki Merapi, 3 November 2013