Kamis, 02 September 2010

SERIBU INGIN...

Maafkan aku... karna tak mampu membendung lajunya rindu
yang tiba-tiba menggebu...
yang tiba-tiba mendesah dalam sepintas gumpalan tatap
yang mudah pecah...
yang tiba-tiba menggelinjang menyusuri segenap syaraf-syaraf
yang mengencang...
yang menorehkan pedih saat kenyataan angan
mulai lemah tertatih-tatih...

Maafkan aku... karna sekejap sua menuai cinta
dan memupus mimpi mungkin saat hari berganti
dan kembali sepi menghangati diri
... karna terpendar kerling memaksaku berpaling
padamu ketika kita tak bisa bersaling....
... karna serekah tawamu membasah jiwaku...
mendekapku dalam ilusi musim semi
yang tak kuingin semu

Maafkan aku... karna tlah memberimu rindu
dan tak mampu memberi walau sekedar kecup
penghangat harapan yang mungkin kelu...
... karna menguntaikanmu cinta
dan tak mampu memenuhkan walau sekelumit makna
penebus sepimu dalam kelamnya angan-angan...

Maafkan aku... walau kuingin
seribu ingin
menjadikannya nyata
menjadikannya nyata
dan menjadikannya nyata
untuk kita...
Walau kuingin... seribu ingin...

What more words can I say

What more words can I say
For all words the meaning cannot stay
That look, to me it talks
That the dream and the fear
Shall break the heart away
But, what more words can I say
For all words the meaning cannot stay
It was the joy within
Throwing all the lines about to drain
When I have thee here, smilin'
Just look into my eyes
And drown into the depth
And shall the ego decay
Until united we'll be in far away.


Jogja, December 2000

SEPERTI DULU

Lambaikan anganmu tuk bantu mengayuh bidukku
rentang sang kala tlah di depan mata karna aku melaju
sementara engkau di batas cakrawala menatapku

Di sini tengah kubangun pondok kedua kita
coba kau lihat, ada potret kita
bibirmu merekah, wajahmu tengadah,
dan tanganmu terentang, engkau berlari padaku mengusir gundah

Ada empang dengan ikan berpasang di bawah dan
katak berpasang di atas teratai putih tak pernah layu
Ada serumpun bambu dan sepasang kupu bercumbu melindas waktu
Ada angin di sini menemaniku
dia akan datang menjemputmu
membawamu lagi padaku, seperti dulu.


Jogja, Juni 2010

Senin, 30 Agustus 2010

Belantara Jiwa

Kekasih,
jalan setapak ini berakhir di mana,
dia seperti lekuk tubuhmu tanpa ujung henti
dipandang mata lelaki,
bau basah pohon dan rerumputan
menyumbat sekujur getar,
senyap terhampar pada rimbun dedaunan.

Kasihku, kasihku
nyanyi burung dan dawai jengkerik
menuntun jiwa terlena pada kembara belantara,
sematkan mantra alam pada buncah rindu
yang tak mengenal bayang.

Belantara ini adalah persetubuhan bumi dan matahari
yang memuntahkan percik-percik keriuhan sunyi
merambati segenap semesta jiwa,
melahirkan kelok sungai menyusuri gigir bumi,
membawa sunyi berpuisi.



Karanganom, akhir agustus 2010

Luka Ini Sunyi

Sekejap laraku terbanting pada senyummu,
saat kau lambaikan angin berpasir dari hatimu.
Apakah engkau yang hadir menunggang kuda liar
dari surga mimpi?
Karna jejakmu jelas tergambar
pada dinding retak di pelupuk mataku.
Coba katakan pada luka
gemulaimu adalah sakit tak terkata pada rasa.
Atau engkau mungkin enggan berbaku sapa.

Kisahku tersandung bebatuan catatan hidupmu
yang terserak pada kelam,
jejakpun tenggelam.

Cobalah kau urai gemeretak rasa yang tertindih senyap,

luka ini sunyi

Sejenak laraku terhujam pada senyummu,
gelisah pada lampu jalanan tersaput temaram,
mungkin detak gundah bersabung
di linang pelupuk mata,

luka ini kembali sunyi
atau engkau mungkin enggan berbagi…


Karanganom, akhir agustus 2010.

Pertemuan di Pelataran Sunyi

Kita berjanji bertemu di pelataran sunyi.
Engkau katakan akan datang membawa segumpal seyap
dan aku akan datang membawa setangkup sepi,
lalu kita akan berbagi rasa yang merintih di sudut hati hingga luruh janji yang tak pernah mengenal pagi.

Kau datang dalam gemulai angan menyambutku sepenuh hasrat tertahan karna mimpi-mimpi yang terlalu pagi.
Kemudian kita menata nada jiwa dan menyanyi dalam alun sunyi.
Kau tanya arti perih saat sunyi membelit tangan kita yang gagap menggapai matahari.
Kau tanya makna luka saat senyap menggelayut geriap rasa yang tak mampu menggenggam jemari mimpi karna pagi tlah keburu mendahului.
Kau tanya dimana bersembunyi duka, kepingnya menorehkan senyap, meneteskan darah dari jantung yang lepas tak bergantung.

Kilau matamu menembusi dingin suasana mengusir angin yang ingin mencuri nyanyi sunyi kita.
Lalu kucoba urai dengan jemari sunyi yang kau bawa saat kita jumpa.
Kulihat senyummu hanyut dalam gelombang awan di ufuk sana,
sunyimu yang satu mengurai rambutmu tergerai lepas,
tetap saja tangan kita gagap menggapai matahari.
Kugantungkan senyap pada dahan di atas bayang kepala kita.
Dia meneteskan belati maka angan dan mimpi kita tak sempat bertemu matahari pagi.

Nganga luka adalah kelam senja.

Kita seharusnya bertemu di pelataran sunyi.
Tapi engkau terbelit sunyi dan aku terperangkap senyap.
Kita seharusnya bercumbu di pelataran sunyi.
Tapi engkau terbuai sunyi dan aku didekap senyap.

Engkau dan aku adalah nyanyi sunyi,
adalah nganga luka di kelam senja.


Karanganom, akhir agustus 2010.

Rindu Sendiri


membuncah sudah rinduku padamu
tuk tumpahkan penuh hasratku menyatumu
dalam gairah cinta yang menggelegak
karna jarak dan waktu yang tak jua saling menyapa

mungkin hanya angan dan sendiriku meradang
memaksa sketsa kabur bayangmu dalam rengkuhku
mereguk bayang-bayang manismu dalam lenguhku
dan memancarkan lava panas rinduku dalam sendiriku
tak jua tubuhmu menyambutku....


Minggu, 29 Agustus 2010

Pewaris Negri

Sudah berkalang tanah mereka dalam cinta pada republik ini,
yang dulu berkeringat darah bermandi dentum mesiu
meneriakkan kata merdeka.
Tuhanku, lelapkah tidur mereka
padahal ranjang mulai terkoyak srigala tetangga,
ataukah tak pernah meram jiwa mereka
karna pertiwi yang dikhianati.
Kini kami para pewaris negri,
mengaum ganas pada anak-anak kami
kala mereka bertingkah,
tapi mendengking meratap-ratap
kala tetangga memelototkan mata,
seakan menatap monster raksasa sedang murka.
Kami yang lantang berkicau tentang kepemimpinan,
kedaulatan, demokrasi, dan perdamaian pada rakyat kami;
ternyata hanya mampu berkata, "Duli Tuanku,"
kepada tetangga cebol yang tak tahu malu.
Tuhanku,
sesunggunya kami adalah pewaris negri
tanpa hati; tanpa harga diri...


Yogyakarta, akhir agustus 2010