Senin, 12 September 2011

Butir Cintaku

Waktu lewat begitu saja, aku masih sibuk menghitung
butirbutir cintaku yang selama ini telah
melahirkan sejarah rindu menggugu. Ah, senja
tengah melambai beranjak lalu, sementara engkau
di situ membiaskan senyum pada tingkahku.
Pergilah sejenak, sudah banyak senja berlalu
tak jua usai hitungku atas butir cintaku padamu.
Sudah beribu kuhitung, karna angin kembali terserak lagi.

PULANG

Puisi kolaborasi tiga:
Kusnadi Arraihan (Medan)
Erny Susanty (Jakarta)
RB. Edi Pramono (Yogyakarta)

berhentilah sejenak, jika berkenan, pulanglah ke hamparan padang rumput
tinggalkan saja tanah kemarau tanpa hujan
berhenti, tengoklah aku sejenak
sekali lagi, jika kau benar pulang,
bawalah aku dari ruang pekat ini, meski matahari tak berhenti menikam tajam

tapak kakiku memerah karna terjal hatimu harus kulalui
sementara sungaisungai dalam alir nadiku meremangkan sekujur
berikan lagi sekejap angan yang pernah mampir pada suatu masa
meski hanya sekejap
jika langkahmu memang harus tergesa

pada sebuah peta, mungkin ada petunjuk
di mana mata air bukan sekedar airmata, terlalu asin untuk direguk
meski kita sama tahu, masih ada peluh menghujani tubuh gontai berjalan,
hingga doadoa tertinggal membaca dirinya sendiri.

jalan dihadapan telah kubangun jembatanjembatan pada tiap lembah
kerna menuju rumah adalah napaktilas tentang kenangan,
betapa kita pernah tenggelam oleh waktu, tertinggal pada silam,
dan hati butuh jalan pulang, jiwa butuh rumah untuk bersemayam.

seperti ikan salmon di musim pijah, mereka berbilahbilah kembali pulang
seperti orangorang di kala lebaran, mereka berbondong menumpahi kampungnya
tlah kusiapkan ranjang kita bermanik tasbih pada keempat ujungnya
tlah kugelar sajadah rindu bersaput beludru, kupintal dari relungku
untuk menyambutmu
untuk menyambutmu
pulang keharibaan dadaku yang paling laut


8 September 2011

KARANG RINDU

Sajak kolaborasi 3:
Lim Sahih (Pontianak)
Erny Susanty (Jakarta)
RB. Edi Pramono (Yogyakarta)


buih-buih laut itu mengukir kisah di batu karang
aku terperangkap sederetan panjang kenangan
dan gelombang, surut membawa serta tulisan namamu
mengejek, sementara aku tertunduk syahdu, pilu
angin menghantam; kian kumerindu

beribu jala kucanang
kala air telah pasang
bayangmu bergerak
bersinar dalam gelak
laut bergetar
dalam dada terujar
“kaukah disana?”

wahai kasih, engkaukah itu
menghapiriku dalam buihbuih mengalun gelombang?
ataukah hasratku terlalu pekat hingga butir pasir inipun
memantulkan raut wajahmu, mengalir dalam kesah hatiku?
setiap hela nafasku kini adalah laut di bibir kelu
bahkan namamu yang kulukis di dinding pasir
perlahan berlalu mengecup ombak...

harapku terpana
dalam jala rindu


Indonesia, 13 September 2011

Aku Ingin

Aku ingin menjadi kosong agar bisa menampung
semua pendar kasihmu
seperti kelopak bunga pasrah pada kecup lebah
untuk menghasilkan madu.
Matahari meranum pada gigir cakrawala,
mengundang rindu tertebar di taman jiwa.
Jalanan ini masih membisu.

Wahai kasih,
adakah itu engkau menyungging senyum sekuntum anggrek
pada musim kembang?
Aroma renjana tibatiba menyergap kepalaku
senja masih saja tergugu
meski riuh cemara belum berlalu

Turunkan Hujan

Jangan turunkan api pada saat seperti ini
karena bumiku tengah membara dengan berbagai peristiwa,
bergolak tak henti.
Turunkan saja hujan, kini seolah tinggal mimpi,
entah di mana dia sembunyi.
Sawah ladang sudah kerontang dengan retakretak tanah menantang;
pohonpohon kaku menjulang menyisakan satu dua daun hijau,
dulu pernah rimbun memukau.
Debudebu acapkali menari dalam tetabuhan angin
persis saat roda melindas dan melintas

Di atas sana banyak api masih membara
memancar dari dadadada di mana puasa belum punya kuasa,
menjadikan kemarau seolah abadi menghuni hati.
Maka kebakaran di manamana

Ayolah, turunkan saja hujan,
agar rinduku tak meranggas
dan cintaku seperti gelombang menderas.


Kaki Merapi, 9 Sept 2011