Sabtu, 14 Agustus 2010

SEMBUH

Aroma sepintas hujan disawah
anak-anak kecil berlarian telanjang
tlah kembali api berasap madu
mengusap sukma yang sesaat kelu

Jogja, Mei 2010

Terkapar

Tawarmu desirkan darah
melintas ganas sungai rimba raya
membawa hanyut sampah ranting dedaunan
bahkan segala ikan cacing binatang air
menetesi sulur-sulur merambati perut bumi
merejam kehendak ibu bumi
menggapai panas matahari

Haruskah aku terkapar?

Jogja, Juni 2010

Renjana

Kerling matamu suburkan mimpi lelaki
seperti bulir padi bunting siap dituai
dan pak tani bergegas dengan sabit terhunus telanjang.

Semerbak aroma mabokkan kejantanan
menepis matahari hadirkan rembulan
di sana menanti padang hijau rerumputan
dan riak gaduh camar lautan.

Lihat temaram lampu di ujung jalan
biasnya menghias rintik hujan
serasa belati bersaput karat mengoyak jiwa sekarat

Kesanalah jiwa-jiwa yang hilang
karna mimpi yang tak pernah utuh
pada tempatmu berteduh.


Jogja 2010

Soneta Jiwa II

II
Sosokmu menghanyutkan serpihan dedaunan jiwa
menguggugat bahana suara tanpa suara
Kucari-cari
diantara jemari hati

Selubung kabut pagi masih mengambang
usai tertunai sembahyang hilang
Seperti mimpi pada seonggok jerami basah
Tiada yang tertuai dari debur yang resah

Rintihku memanggilmu
bersama malaikat di ujung malam
dan deru angin membisu
Sapamu mendera rimba pilu
masih tersisa guratan kelam
pada setiap sendi berbalut ngilu.

Jogja, April 2010

Soneta Jiwa

I
Tuhanku, sering kali waktu bersamaMu aku tiada,
karna hadirku bukanlah terdorong rasa rindu
karna sapaku bukanlah pilu padaMu
hanyalah tubuh bertelut segenap raga tanpa jiwa

Tuhanku, walau sering kali kuikuti orang berkata
walau sering kali kupacu hasratku
walau seribu kali kuhentak seluruh inginku
tak jua terlebur sapaku dengan seluruh rasa

Doa menjadi rangkaian kata-kata pikiran dan
menjadikanMu berhala untuk sementara berlabuh.
Tuhanku, sering kali waktu bersamaMu aku kosong
karna mulutku menghambur hanya hafalan
karna sujudku beralaskan jiwa yang rapuh
karna sesungguhnya kekotoran menghisapku melompong.



Yogyakarta, April 2010

Luruh

Kukatakan pada angkasa semesta
bahwa kita telah menimbun rasa
bergumul peluh dan kata berjuta bahasa

Banyak tahun telah melesat di belakang kita
membawa semua pedih, pilu, resah, dan luka
membawa segala cerita, tawa, canda, dan suka
membawa seluruh warna yang kita goreskan
pada lembar-lembar impian kita

Kembali aku padamu dengan seluruh ngilu dan rindu
menata kembali hidup penuh geliat
mengurai lagi jalinan benang jiwa yang sempat kusut
karna semesta telah bicara lewat pendar rasaku
bahwa kau dan aku adalah sendiri yang meluruh


Yogya, April 2010

tapi aku mencintaimu

Cintaku tanpa wujud, tanpa bentuk
tapi aku mencintaimu
Cintaku hilang, cintaku tiada
tapi aku mencintaimu
Cintaku luruh, cintaku lebur
tapi aku mencintaimu
Cintaku luluh angan, cintaku diam lebam
tapi aku mencintaimu
Cintaku bersemi mati, cintaku hidup redup,
cintaku kembara, cintaku dimana
tapi aku mencintaimu
Cintaku tersesat, cintaku gelap pekat,
cintaku meradang menerjang halang
cintaku terbang menghujam kelam
tapi aku mencintaimu
Cintaku mencintaimu penuh cinta yang tersekam
cinta
tapi aku mencintaimu

Lereng Merapi, Juli 2009

Suara Kami

Apa yang bisa kau beri
sementara bisamu hanya meminta?
apa yang bisa kau rubah
sementara bisamu hanya mengikuti?
Sudah kau hambur jutaan kata kosong
dan kau bangun ribuan mimpi
tapi kami berabad-abad masih begini

Kini kau datang lagi
merasuki jiwa kami dengan janji bertabur mimpi
dengan senyum iblis memukau hati
dengan jubah domba berliur srigala
dengan sisik emas bermulut buaya.

Kami yang tergusur hancur …
Kami yang terkapar lapar …
Kami yang terkerat sekarat …
Kami yang meregang berjuang …
tak mampu berbuat, hanya diam di tempat
terjerat …

Kami kini tak punya apa-apa lagi
Kami tak lagi bisa beri
Kami hanya punya mimpi yang tak pernah kau penuhi
Kami hanya simpan janji yang selalu kau ingkari
Kami hanya hidup begini, dan kau tak pernah perduli

Kini, haruskah kami gadai suara
hanya untuk jubah domba
hanya untuk seringai srigala
hanya untuk mulut buaya?

Lebih baik diam
Lebih baik tak bersuara.


Karanganom, Mei 2009.

PUASA

Puasaku menapak jalan menikung
dan batu kerikil tercecer dari hati, terserak di pematang iman,
menjadi duri dari kegelisahan
dan mengguratkan bulir-bulir sesal.

Puasamu menjejak tanah hampa,
menebar debu kata-kata dalam gaung doa
yang ditelan dinding-dinding masjid tua.
Senyap.
Kau berdiri menghambur nafas kesturi dunia,
pada geletar harap jiwa-jiwa yang gersang meradang.

Puasa kita menunggang buih laut,
membuncah mewarna semesta,
menepi, dan melunglai di pantai;
terseduh pasir hampa.
Senyap.

Tanyalah pada langit tentang puasa semesta,
maka akan kau kata pada bumi bahwa
kau terpenjara kata;
bicaralah pada riuh belantara,
maka akan kau kata pada geriap senyap bahwa
puasa tlah terkurung laba-laba.

Lalu bisik lirih angin berdentam,
"puasa adalah saat kau hilang"
ahh...

Lereng Merapi, medio Agustus 2010

PASAR

Dia merencah onggok jasad tak berdaya pada meja jualan,
riuh manusia menindas senja agar tak segera berlalu,
uang dan tangan tak henti berkecupan,
beriring lenguh keluh
karna yang didapat tak lagi pernah utuh,
transaksi seperti ribuan kunang-kunang bersliweran,
harga dan barang merentang gigil gelisah,
jiwa-jiwa seperti air dijerang, mengerang,
lembaran mengerat jiwanya yang tak
sanggup merengkuh jarak gundah
karna harga yang kerap melayang.

Jogja, akhir Juli 2010.

Perempuan Mimpi

Kau hadir dari awan
menyusur samudra malamku,
mengetuk serabut lembut sekujur,
mengirim seribu denyar bintang berpendar,
meliar pada getar ombak lautan,
meletupkan didih sungai darah menderas;
Wahai perempuan mimpi,
kau porandakan tata mimpiku,
kau renggut golak buncahku
dalam lenguhmu,
kau rendam tikamku berulang,
dan kau menghilang
tinggalkan aku berpeluh ombak
tak menemu pantai
tak kembali mengecup laut...

Jogja, Agustus 2010