Selasa, 17 Agustus 2010

PUASA II

Angin membawa desah senja
mengusap gerit hati menanti detik,
menghantar sangar matahari menapak
gigir peraduan semesta.

Kumandang puja membelah angkasa
demi merengkuh bumi ilahi,
gaung para malaikat mungil melantun
menembus batas semesta,
menguap gigil ombak geriap menemu pantai,
meruyak dendam air bersulur mengecup samudra,
seperti awan merindu hujan agar melebur alam.

Maka ketika detak beduk mengetuk pintu surga,
sempurnalah kisah abadi cinta ilahi.


Lereng Merapi, agustus 2010.


SESAL

Ada sebatang jarum jatuh berdenting
mengiris ruang jarak
suaranya mematuki batu pada hati,
siapa yang menepis kelebat bayang di tengah kelam?

Tetes-tetes air menghujam bumi
berdentam pada gigir sunyi,
resapnya meremas dingin ngilu hati,
mengusik penat sekujur
yang legam oleh geriap senyap.

Waktu
adalah yang terlahir dari persetubuhan
esok dan lalu;
ditelikung oleh kembara bayang
angan dan kenangan,
hilang bersama luka sesal
seolah air dalam genggaman.
Siapakah yang mengharuskan
semestinya... ?


Lereng Merapi, Agustus 2010

Senin, 16 Agustus 2010

You sounded so wisely, Sir

You sounded so wisely, Sir
for the words you tried to be truly honest
It's still in the morning that
excuses should not be

Things were wrong we considered so long, Sir
The answers were so fine till they were out of line
Just look at the core we avoid it is to bore
Truth and plain there shall be that you are to explain
for not an effort to entertain we expect to gain

You sounded so wisely, Sir
with a cloudy smile you thought we would buy
with a fatherly look you thought we would think the truth
Get over, Sir
for the time is running out
and the words have been so loud
But what things do you think to gain
for every thing pouring is just in vain.

You sounded so wisely, Sir
Time is over.


Yogya, 25 Nov 05

Tak bisa lagi kuucap kata

Tak bisa lagi kuucap kata
karena segala kata tlah hilang makna
Tatapmu, kekasih
seolah ingin bicara
betapa cemas dan angan
tlah mengoyak hati dan rasa
Tetapi,
apalagi yang bisa kukata
karena segala kata tlah hilang makna

Saat kau ada, dan tersenyum mesra
hanyalah bahagia
memenuhi rongga dada
hingga hilang seluruh kata
Tatap mataku
hingga ke dasar hatiku
hingga segala keakuan lenyap
hingga saat kita kan bersatu, di ujung sunyi senyap.

WAHAI ANGIN

Dalam hening sunyi aku terpekur
Meregang jemariku mencoba meraih yang tak terukur
Di sudut rasa kumulai merajut jaring laba-laba
Mungkin bisa kusimpan anganku rapat di sana
Ingin bisa kutembus awan melayang
Kudekap jiwamu disana hangat berbagi angan
Wahai angin, bisikkan lenguhku padanya
Telah kembang kuncup rasa ini berbunga lara
Dan benih-benih rindu berbuah kelu
Mungkin sejuta titik kata tlah terhambur dari lidah kami
Mungkin seribu mimpi sempat menghias jerit hati
Dan mungkin berbintang bayang sempat meregang pikiran
Wahai angin, pastikan padaku tentang arti
Bila jalan berakhir terhempas di belantara sunyi.


Yogya, 25 Nov 05

Semangat

Terselip diantara belukar lamunan,
hasratku besar ditelan kekosongan,
tinggal mimpi menunggang pelangi angan,
tetap saja aku tak bergerak, stagnan.
Kugedor ribuan membran di kepala dan jiwa,
hanya ketukan lirih tanpa daya,
terkulai dipelukan angan,
terjepit dalam doa tanpa makna, merana.
Tuhanku,
lepas kurasa sendiku luruh,
gontai oleh janji hati yang letih,
tertatih oleh ingin yang tlah penat,
bangunkan aku,Tuhanku,
agar kembali kugenggam semangat,
dan kupenuhi segala angan dan hasrat.


Jogja, medio Juli 2010

Rinduku tak bersambut

Rinduku tak bersambut
rasaku tak lagi bisa bergayut
bayangmu mengabur ditelan ketidakpastian
senyummu memudar meremas angan
Aku yang berharap,
tak lagi mampu mengucap
Aku yang berangan,
masih mencoba tuk bertahan,
hanya tuk bisa merengkuhmu,
mendekapmu walau selintas bayang.


Jogja, awal Agustus 2009

SAAT INI

Saat ini aku merindumu
menata kembali angan yang penuh debu
Saat ini aku ingin mendekapmu
berbagi rasa dari jiwa yang lara
Saat ini aku ingin mencumbumu
menyemai kembali cinta yang tlah lama kelu
Saat ini aku ingin bercinta denganmu
mengalirkan gelegak rindu yang tlah lama sendu
yang kini membasah madu
Saat ini aku ingin menyatu denganmu
dalam buai harapan baru
dengan bisik haru dan syahdu
dengan cinta yang tak mengenal jemu
Saat ini aku ingin dirimu....
dan hanya dirimu...


Jogja, akhir Juli 2009

SATU, SATU, SATU

Sudah sekian lama aku berjalan kesana kemari
Entah berapa jarak telah kulalui
Tak pernah kuhitung satu kaki demi satu kaki
Hingga keletihan mulai merayapi sekujur tubuh bahkan hati.
Lalu kutemui jalanan bebatuan, belantara kehidupan
Dan sebuah pondok mungil di ujung ufuk, menawarkan harapan
Semakin dekat langkah kakiku yang letih ini menuju
Meniti satu demi satu onak berduri maupun semak mengganggu
Kembara ini hampir berakhir bagiku, satu, satu, satu
Hatiku yang letih ini mulai teduh
Tubuhku basah berpeluh dan penuh; perih ini mulai sembuh
Langkahkupun mulai laju walau satu, satu, satu
Pondok mungil itu milikku dan hanya milikku
Akan kuhirup penuh udara keheningan bahagia
Akan kurengkuh dan kudekap tawa dan canda
Akan kudongakkan kepala dan kuteriakkan "Engkau milikku..."
Kekasihku,
Dipondok mungil itu
Kau dan aku selamanya satu, satu, satu, dan hanya satu.
Karena engkau adalah aku dan aku adalah engkau
Karena hatimu adalah hatiku dan hatiku adalah hatimu
Karena jiwamu adalah jiwaku dan jiwaku adalah jiwamu
Karena nafasmu adalah nafasku dan nafasku adalah nafasmu
Kekasihku,
Dipondok mungil itu
Kau dan aku selamanya satu, satu, satu, dan hanya satu.


Yogyakarta, Maret '98

Rinduku

Rinduku bersabung di langit
Mencerabut jiwa bersulang di awan
Memburai dendam asmara dilebur angin
Rinduku bergelut di angan
Bersabut asa berserpih masa,
Menjurai serabut mimpi di sudut hati


Karanganom, Mei 09

Malam kita tlah berakhir

Malam kita tlah berakhir
bersama keluh lenguhmu
dan burai keringat kita
Kau lihat dedaunan di remang sana?
Dia tlah rampas nikmatku atasmu
dan membuangnya ke ufuk langit.
Malam kita tlah berakhir
tak lagi kuhirup basah rumput dari tubuhmu
yang menyumbat sluruh rasa
Sendiriku dan sendirimu
kembali sepi menari.


Karanganom, Desember 06

Maafkan

Anakku, maafkan aku yang penakut
karna tak bisa menjadi tempatmu bergayut,
maafkan aku yang hanya berkata-kata
tak mampu berbuat apa-apa,
yang tidak bejuang, hanya berkubang dalam khayalan,
hanya bergelut dengan kata-kata berkabut.
Maafkan aku karena lidah yang kelu,
jiwa yang beku, hati yang membatu,
dan pikiran yang tak tentu,
dan tak berani merengkuhmu penuh rindu.
Anakku, tak pantas untukmu aku menjadi pahlawan
karena patah angan sebelum berjuang,
karena tak bisa menepis garis,
karena tak bisa menebas batas,
karena tak berdepan untuk berkurban,
karena dan berjuta lagi karena,
hingga mendekapmu dalam pelukan rindu
hanya khayalan semu,
hingga menimangmu dalam dekapan cinta
hanya ada sebatas  angan.
Anakku, maafkan aku.
Kelak kau dewasa dan mengerti kata,
aku tlah tanamkan padamu luka,
dan bertumbuh dengan pupuk dusta berbalut cinta;
kelak kau dewasa dan mengerti cinta,
aku tlah torehkan dalam jiwamu duka abadi
karena kejujuran yang tlah tertikam mati.
Anakku, maafkan aku,
meski tak cukup berharga aku
untuk terima maaf darimu.


Jogja, Agustus2009

Mama

Mama,
Kupersembahkan karyaku ini untukmu
Walau kau tak pernah bisa melihat
Kuperuntukkan upacaraku  bagimu
Walau kau tak bisa mengikuti
Kutujukan wujud mimpi ini padamu
Walau kau tak mungkin menikmati
Belum tuntas rasaku mengasihimu
Kristus tlah mengundangmu
ke perjamuanNya


Jogja, Juli 2009

And I Luve Thee Not

What is love, when hurt touches me ?
What is love, when pain is not away ?
What is love, when speechless is me
to the deep remembrance upon thee ?
I luve thee, till the sun breaks the heart within
that bleeds through all the senses

I toward thee once had
I luve thee
and I luve thee not
for it cometh so short
for it bringth thy treason on thy oath
I luve thee
And I luve thee not
What is love, when memories are blue ?
What is love, when love is blue ?
What is love, when me is blue ?
And I luve thee not
For blue, blue, and blue thy luve to me has got.


Jogja, November 2000.

Ketika rembulan merah

Ketika rembulan merah
bayangmu menggoda jiwa
merengkuh ingin yang hampir tak nyata
kita sembunyi dari kenyataan
hanya untuk berkubang dalam keindahan maya.
Kasih, mari kita jujur dan terbuka
agar koyak luka tak lagi menyiksa
dan hasrat jiwa tak lagi merana
barangkali takdir akan bicara lewat rembulan
yang membawa senyum kita.
Kita yang sedang mabuk kepayang
hanya bisa merenda langit dengan angan
dan melukis harapan di pasir malam.


Karanganom, Mei 2009.

Ketika rembulan datang

Angin hampa menerpa
Dia termenung menatap kegelapan malam
Melintas gambar keresahan dalam
Burung malam bertengger diam
Tarian dedaunan mengusik angin
membawa silam dalam keriuhan kelam

Dia tengadah
mengalir butiran kegundahan
Dia terpejam
bergelombang dadanya karena getar
menyesakkan sungging kegalauan

Dimana dia yang pernah hadir bersama mimpi...

Mulutnya terkunci
teriakkan resahnya merindu
bersama segumpal desah memilu
Dia yang pernah hadir menjumput selimut
cinta untuknya
Dia tangkupkan sebukit asa padanya
dan dia kucurkan setetes samudra
rindu baginya


Yogyakarta, Maret 2007


Sebuah Tanya

Perjalanan waktu yang panjang
mulai menampakkan pintu gerbangnya.
Senyum kutebar dan langkah kuayun panjang.
Setengah berlari aku menyongsongnya;
kurentang kedua tanganku 'tuk menggapainya.
Saat kutoleh ke belakang, kulihat hatiku di sana,
kulihat kakiku terpancang tak bergerak.
Lidahku kelu,
mataku nanar,
dan kutanya diriku, "Aku berada di mana ?"


Joaja, Okltober 2004

Keletihan

Sekian waktu sudah perjalanan ini kutempuh
Kebersamaan inipun larut dalam rengkuhan rasa
yang mulai mengambang.
Setapak demi setapak landasan kaki semakin dalam menahan beban
yang tak pernah juga surut.
Pernah kubayangkan semuanya begitu ringan,
namun bahkan selembar benangpun
adalah sebuah beban tak tertanggungkan.


Jogja, Oktober 2004

KELABU

Rasaku dan rasamu bersabung entah tak tenu
bergayut kelabu di ujung awan
menebar kelu dalam kawan
sisipkan gelak
menoreh kelam
sampirkan canda
meretas malam
Kurengkuh bayangmu dalam diam
mengurai hasratku
melayang,
menghujam pikiranku
terdalam,
mencecap serpihan angan

Rasaku dan rasamu bersabung entah dimana
bergulat ketat direntang batas
meremas cemas
meredam rindu dendam

Rasaku dan rasamu
tak pernah bisa diam
bergulat dan bergolak
mencari jalan...


Yogyakarta, April 2004

Kekasih II

Kekasih ...
Titik ini telah membawa kita dalam rengkuhan semusim angan
yang coba kita pahat dalam mimpi hidup
bukan bayangan
Titik ini telah menjinjing segepok butiran-butiran duka, luka,
dan pedih yang coba kita goreskan lewat murka dan doa tanpa kata
dan telah menghimpun segenap tawa, canda, dan ceria
yang coba kita rangkai dalam geriap rasa yang membuncah
Kekasih ...
Jalan masih terentang 'tuk kita merajut angan
lewat mimpi dan rasa yang tak seharusnya merawan
dan angan-angan yang diam tanpa makna
agar tersibak segala semak dalam bentang
kain hidup kita
dan terurai semua beda 'tuk
menyatu dalam kekal kasih
Kekasihku ...
Jiwa kita
agar tetap satu 


Jogja, Juli '98

Kekasih I

Kekasih .......
         Bila aku tanpamu ...
Aku merasa berada ditempat kosong tak bertepi ...
         Hampa dan sunyi ...
Aku merasa terjepit diantara jutaan dinding berderit ...
         Hiruk tiada damai ...
Aku merasa terulur-ulur sakit menggapai ...
          Tanpa pernah tercapai ...
Aku merasa bertumpuk-tumpuk sesak dan penuh ...
          Tanpa bentuk dan liuk ...
Duh ... Kekasih,
          Sesungguhnya aku merasa ...
          tanpamu ... aku tak bisa merasakan apapun jua ...
          tanpamu ... aku bukan apa – apa.

Di ujung pagi

Waktu berpacu dengan desahmu
menghantarku di batas landasku.
Bergelinjang sang pagi menyingkap lepas polos kita,
dalam secercah cinta berbalut resah
Kita jalin kata di padang asa
dan berujung di bebatuan.
Kita reguk madu rasa
dan bermuara di kaki senja.


Karanganom, Mei 09

Behold Me Lord

Yes it is true everything bows down on thee
As the stones keep aside when thy shadows breeze
And the trees nod for thy steps in peace
And the hearts of joy upon thee to flee
When I gain my coin of life in the dream of gloom
With a diamond of lies sparkling on my dome
And the top of my head looking up to thy home
Then I start to know I dig out my tomb
Behold me Lord,
Behold me Lord,
This trembling soul cries from the black land of hope
Crawls with the dust of sin squeezing my troat
Behold me Lord ...
Behold me Lord ...


Yogyakarta, 9 October 2004

Thou Own The Heart of Mine

The deep blue sea under the horizon shows me its endline.
When I reach it, another end line appears
again and again.
It ends, but it never really ends.
The deep blue sea under the horizon flows on gently,softly, and slowly.
O, where is the ship that usually sails on?
The beautiful little ship that brings the sea splashings,
that brings the sea waves
and that brings the sea joys.
The wind blows softly and gently
The sun is about to set and silence is awaiting.
O, where is the ship,
my little ship that brings me splashings
that brings me waves
and that bring sme joys.
O, I miss my ship
for I'm not the sea when she away slips. 


Yogyakarta, 17 Sept. 1997.

Minggu, 15 Agustus 2010

LUKA...

Duka, luka, airmata
hanyalah rintih sesaat pada senyap malam
berjingkatlah cepat
seperti engkau menemu pagi..
Waktu hanyalah semu pada gerak gemeretak jiwa
yang memahat surga pada dinding hati
seperti engkau merasuk matahari
Hanya nafas malam kala kau terkapar
tertikam kelam
maka sisipkan serpihan mimpi
agar bisa kau sarungkan
belati sunyi pada tari pagi
Pada asap kau gurat rindumu
pada bayang kau tanam cumbumu
seperti gelombang laut menyapa pantai
kau menjadi malam karena renjana tersekam.
Jarak hanyalah selaput pandang melintas waktu
tak perlu kau kembang sayapmu
dan melesat sembunyi dari didih luka
dalam gulung jelaga pada atap-atap rasamu...

Lereng Merapi, medio Agustus 2010


TOBAT…

Di mimpi jalan itu bersimpang jiwaku merengkuhmu
seperti derai potongan kertas tertabur;
luruhku sampirkan kata mantra
lewat jerit malam yang senyap.

Usapkan tanganmu membakar hangus
kerak jiwa yang tak lekang oleh lidah matahari;
sapakan nafasmu mengoyak labirin senja hati,
guratkan diammu pada kelu dada dalam senyap yang rapuh,
karna tlah tertikam hidup oleh belati sunyi,
dan tertusuk mati oleh duri-duri mimpi.

Tlah datang tarian anak-anak telanjang di bawah hujan
mengangsurkan nyanyian angsa di empang surga;
lunglaikan aku dalam rengkuh desahmu,
luruhkan aku dalam dekap nafasmu
agar tegak kembali tiang doa yang lama terkulai



Lereng Merapi, awal agustus 2010

MUNGKIN…

Surga itu indah sayang,
katanya
ada ribuan gelombang laut merangkai
gerak nada tanpa sumbang,
ada kicau burung dini hari pada jiwa gersang,
senada tarian desau angin di padang ilalang,
sepenuh rintih dalam ribuan renjana malam,
serasa sepasang tubuh bertangkup dan melunglai matang;
ketika mimpi cinta mencumbumu.

Neraka itu perih sayang,
katanya
nyanyian seribu malaikat di senyap malam,
mengepak sayap mereka menghujam
ulu hati terdalam,
riuh pedang berdentang pada sekujur penat
meradang,
tulang-tulang tumbuh baru menyimpang merejam,
beribu remah pada luka mengundang
keriuhan semut berdansa di atasnya;
ketika nyeri cinta mencumbumu.

Tapi di mana mereka
tatkala erang bahagia dan sorai luka
bersabung di samudera jiwa?
Mungkin hanya sejumput pandangan lewat
yang hilang ditelikung jalan bersimpang...



Lereng Merapi, 6 Agustus 2010.

10 Tahun Masih

aku berjalan mereguk sejuknya udara sore
sehabis hujan seharian menyirami kota
dingin udara terasa memagut kulitku
kususuri jejak-jejak yang pernah kita buat bersama
dan seleret kenangan membias di pelupuk mata
kau tertawa menggodaku
dan cemberut manja saat kugoda; indahnya
ah, 10 tahun telah berlalu, masih juga aku mengingatmu.

kini jarak membentang di antara kita
pernah kucoba uraikan rasa
yang terus menggayut di ujung relung kalbu
kucoba tentramkan gundah dan resah
dan redakan emosi rindu
kembali senyummu
dan satukan lagi segala rasa,
membakar kembali yang lama tlah pudar
ah, 10 tahun telah berlalu, masih juga aku mengingatmu...

SIAPA…

Ada yang tinggalkan secangkir resah ini direjam kata-kata,
tapi siapa yang berbaku gundah
pada seonggok angan berlumut gelisah,
yang seharusnya bergelimang mimpi-mimpi indah?

Ada yang tancapkan keluh pada hidup sesaat yang lusuh,
tapi siapa yang berbaku peluh
pada malam-malam yang tak lagi utuh,
yang seharusnya bersenandung hati bertabuh?

Bukan aku,
Bukan engkau,
Bukan kita,
Tapi ada,
Entah siapa…


Jogja, Juli 2010

MEMBISU…

Aku bertemu masa laluku,
sorotnya membiru,
kutanyakan tentang rembulan
dititipkannya salam kerling yang kelam;
kutanyakan tentang matahari
ditawarkannya senyum kelu penuh berahi.

Aku jumpai masa laluku lagi
di geladak kapal di ujung pagi
digoyang gelombang menantang,
kukecup aroma urai rambutnya
menggelinjang gelombang di nafasku;

Maka kudekap erat masa kiniku
agar tiada berlalu
menyelam ke dalam lautan membisu.


Jogja, juli 2010.

BERITA

Korea Selatan dibantai 1-4 oleh Argentina
Korea Utara direjam 0-7 oleh Porto
setelah dunia berdecak ternganga oleh mereka,
dan Gayus sang PNS muda berharta ratusan milyar
hasil korupsi;
itu masih kroco,
lenggang kangkung;
seorang maling itik hampir mati diinjak massa
dan anggota KPU merangkap sebagai pengurus
partai pemenang pemilu,
lantas dimana Lapindo berujung?
masyarakat Sidoarjo pun berteriak: “Goooollll….”
ketika Ariel bergoyang.....
Apa kabar Century, beristirahatlah dengan
tenang di pangkuan ayahanda
Mereka berdansa bercucuran airmata
mereka bernyanyi riang berlinang
darah menggenang

di mana duka,
di mana suka,
di mana ceria,
di mana luka,
di mana murka,
di mana tawa,
di mana gerak langkah ketika
segala rasa dipasung berita?

Jogja, Juni 2010

Rindunya Tlah Menua

Rindunya tlah menua dicerna waktu,
buku jemarinya menyimpan dendam renjana
yang tak pernah tertuai,
mungkin melapuk mimpinya karna usang,
tersimpan pada jaring laba-laba di sudut kelam,
seperti seonggok kayu dimakan panas hujan.

Digelutinya kusut masai ribuan bayang
dirajutnya benang selaksa ular di musim kawin.
Musim hujan tlah berlalu
membawa hilang aroma tubuh yang pernah
membuatnya melayang.

Sepasang katak bercumbu dalam kecipak air,
meremah ulu hati bermimpi padi tak tuntas tertuai,
runtuh mutiara basah dalam kerjap
karna waktu tlah memenggal segalanya.

Karanganom, Mei 2010.

by Rbe Pramono

MEMORI

Serubah wajah bersalin rupa,
risaunya terbentur mesin waktu.
Seorang bocah berlarian di jalanan berdebu,
mengepakkan mimpi seribu nanti.

Ada yang tersisa pada gores hati.

Semata renjana berganti muka,
bersabung antara angin dan ingin.
Dia duduk terpekur pada ruang waktu yang bergulir mundur,
dia tersenyum pada potret wajah-wajah tanpa cakrawala.

Ada yang masih tersisa pada gores hati.

Kenakanlah mahkota di atas luka,
atau coretkan buluh pada sendaumu,
seperti anak-anak bersorak pada kembang api yang menghilang.

Ada yang selalu tersisa pada gores hati.



Jogja, Mei 2010.