Beribu asa menjadi bunga dirangkai dan dipajang di berandamu
dari kami
bukan untuk pewangi
bukan agar rumahmu asri
bukan hiasan citra diri
tapi agar kau jaga tak layu dan mati tanpa arti
sudah membusuk nanah dalam bisulbisul geram
taburkan obat agar sembuh
sekali kau biarkan letup pada wajahmu
alirkan belati mencincang negri
Kaki Merapi, 24 Desember 2011
Aku dan pergulatanku menyusupi celah-celah kehidupan yang membawaku dalam kembara yang tak mengenal jeda. Baru kumengerti bahwa sunyi adalah belati berkarat yang mampu membawa sekarat...
Kamis, 22 Desember 2011
malaikat negri
Engkau hadir pada satu sudut ruangku
membawa warna pada sunyi menggigit nadi
kau angsurkan selendang
ajakku menari di padang basah
maka hadir sekumpulan malaikat negri ini
bergendang dendang untukku
membawa warna pada sunyi menggigit nadi
kau angsurkan selendang
ajakku menari di padang basah
maka hadir sekumpulan malaikat negri ini
bergendang dendang untukku
Come
Come and by my side thou shall lie
for in thee down the bliss of heaven
into a joyous cry the whispers of wet grass turn
then with tonic sigh of a rainbow
we shall dance in the sky
Come
and let the dim clouds away
though just a blink of eyes thou could stay
Kaki Merapi, 22 December 2011
for in thee down the bliss of heaven
into a joyous cry the whispers of wet grass turn
then with tonic sigh of a rainbow
we shall dance in the sky
Come
and let the dim clouds away
though just a blink of eyes thou could stay
Kaki Merapi, 22 December 2011
Ibu
Ibu,
mengalir tiap titik simpul dan gurat rautmu
di tiap titik nadiku
senyummu abadi, seperti abadi kasihku padamu
kupahat erat di dinding jantungku
dan pendarnya kuhembuskan di peraduan sunyimu
agar menjadi jembatan pelangi
untuk kita di jamuan surgawi menari
Kaki Merapi, 22 Des 2011
mengalir tiap titik simpul dan gurat rautmu
di tiap titik nadiku
senyummu abadi, seperti abadi kasihku padamu
kupahat erat di dinding jantungku
dan pendarnya kuhembuskan di peraduan sunyimu
agar menjadi jembatan pelangi
untuk kita di jamuan surgawi menari
Kaki Merapi, 22 Des 2011
Rabu, 21 Desember 2011
Feeble Flesh
I hold your feeble flesh
and I get lost
for I flirt the uncertainty of life
when dusk is in sight
I hold your feeble flesh
and I'm a faint flotsam
in you
ahh...
Kaki Merapi, 21 Desember 2011
and I get lost
for I flirt the uncertainty of life
when dusk is in sight
I hold your feeble flesh
and I'm a faint flotsam
in you
ahh...
Kaki Merapi, 21 Desember 2011
Selasa, 13 Desember 2011
Selamat Jalan Sondang
Sudah berdarahdarah tanah ini
berlumpur nanah busuk dari lukaluka jiwa raga
menganga
satusatu jiwa muda tumbang mengalirkan api pencucian
dari mimpimimpi menjulang demi pertiwi
tanah ini mengerti
negri ini mengalirkan luh perih
terkangkangi tangantangan kotor
berbau busuk, berselimut kesturi
dendang Sondang
getir Munir
sumpah Marsinah
mestikah terbang ditelan lupa?
Mereka masih mengangkangi tanah ini
mereka masih menghisap tanah ini
dan mereka masih pongah berdiri
karena kita yang memberi
karena kita yang memilih
karena kita yang kehilangan diri
Ah, puisi ini
hanya desah lirih di padang sunyi
Selamat jalan Sondang.
Kaki Merapi, 13 Desember 2011
berlumpur nanah busuk dari lukaluka jiwa raga
menganga
satusatu jiwa muda tumbang mengalirkan api pencucian
dari mimpimimpi menjulang demi pertiwi
tanah ini mengerti
negri ini mengalirkan luh perih
terkangkangi tangantangan kotor
berbau busuk, berselimut kesturi
dendang Sondang
getir Munir
sumpah Marsinah
mestikah terbang ditelan lupa?
Mereka masih mengangkangi tanah ini
mereka masih menghisap tanah ini
dan mereka masih pongah berdiri
karena kita yang memberi
karena kita yang memilih
karena kita yang kehilangan diri
Ah, puisi ini
hanya desah lirih di padang sunyi
Selamat jalan Sondang.
Kaki Merapi, 13 Desember 2011
Minggu, 11 Desember 2011
Irony
I
breathe thy breath and sip the wine of thy lips
the flow of pain from vein slowly drains
for love and ecstasy the wounds do slain
to the feelings roof all the memory leaps
to needled ways the path does bend
leaving all the wishes to pieces to crack
and our world into the deepest vault to pack
a sign, the sand castle we build suddenly ends
the drops of rain, the darkest chamber of mist
and the chilled hills with dust of flames
when I sip thy lips and drown so deep
so let us fly and twist
be the joyous grief clouds playing the games
a flash of ages we save before we sleep
the flow of pain from vein slowly drains
for love and ecstasy the wounds do slain
to the feelings roof all the memory leaps
to needled ways the path does bend
leaving all the wishes to pieces to crack
and our world into the deepest vault to pack
a sign, the sand castle we build suddenly ends
the drops of rain, the darkest chamber of mist
and the chilled hills with dust of flames
when I sip thy lips and drown so deep
so let us fly and twist
be the joyous grief clouds playing the games
a flash of ages we save before we sleep
Kaki Merapi, 13 December 2011
Birahi
kuhempaskan debur hasrat pada tegak karang
agar cumbu tak sekedar rayu
tapi gelinjang bumi mematahari
suluh pada helai birahi
Kaki Merapi, 10 Desember 2011
agar cumbu tak sekedar rayu
tapi gelinjang bumi mematahari
suluh pada helai birahi
Kaki Merapi, 10 Desember 2011
Senin, 28 November 2011
Rindu Masih Merimbun
Biarlah kurekah fajar
agar koyak kelam yang menutupi rautmu
akan kurobek kabut
agar tersibak tirai yang sembunyikan kerlingmu
biar kubelah mendung sesah
agar lengang rinai cintamu basahi kering hati
dan kuhembuskan nafasku di sela anak rambutmu
menyusupkan gairah purba
telah puncak getar geriap mendera
karna langkah di pijak goyah
penuh sudah dedaunan susupkan dingin di tiap ruasnya
hingga membeku jantungku
angin laut hadirkan bongkah kenang atas liuk tubuhmu
serupa tari cemara di desah musim
jarijari pagi tuliskan pesan di tiap embun
rindu yang masih merimbun
Kaki Merapi, 29 November 2011
agar koyak kelam yang menutupi rautmu
akan kurobek kabut
agar tersibak tirai yang sembunyikan kerlingmu
biar kubelah mendung sesah
agar lengang rinai cintamu basahi kering hati
dan kuhembuskan nafasku di sela anak rambutmu
menyusupkan gairah purba
telah puncak getar geriap mendera
karna langkah di pijak goyah
penuh sudah dedaunan susupkan dingin di tiap ruasnya
hingga membeku jantungku
angin laut hadirkan bongkah kenang atas liuk tubuhmu
serupa tari cemara di desah musim
jarijari pagi tuliskan pesan di tiap embun
rindu yang masih merimbun
Kaki Merapi, 29 November 2011
Ingin Kugaruk
Ingin rindu ini kugaruk
tapi cemas aku gelitiknya menjalar ke sekujur
tubuh dan karenanya aku terkapar
sementara barabara kau lempar
pada minyak rasaku yang menjalar
tapi cemas aku gelitiknya menjalar ke sekujur
tubuh dan karenanya aku terkapar
sementara barabara kau lempar
pada minyak rasaku yang menjalar
Rabu, 23 November 2011
Pagi
kubuka pintu rumah pagi ini
ada hembus di wajahku
aku tahu, pasti kau sedang kirimkan senyum lewat angin
maka kupentang daundaun rindu
sambil kusapu lukaluka yang mendebu di lantai
kuhirup dalamdalam kulum dan kerlingmu
kusimpan baikbaik di tiaptiap ruang rasa
agar sehari nanti tak kurasa dahaga
Kaki Merapi, 23 November 2011
ada hembus di wajahku
aku tahu, pasti kau sedang kirimkan senyum lewat angin
maka kupentang daundaun rindu
sambil kusapu lukaluka yang mendebu di lantai
kuhirup dalamdalam kulum dan kerlingmu
kusimpan baikbaik di tiaptiap ruang rasa
agar sehari nanti tak kurasa dahaga
Kaki Merapi, 23 November 2011
Minggu, 20 November 2011
Sembilu Abadi
Mungkin kau tak mengingatnya lagi
gemeretak pikuk yang pernah kita titi
hiruk penuh liuk
pergumulan rasa menorehkan catatan pada udara yang kita hirup
sebagian kutanam di bebatuan agar tetap abadi
mungkin kau tak lagi tahu
bahwa kelam melumurkan sajaksajak ngilu
ketika persetubuhan hujan lentikkan deru
ada yang memantik dari gerai rambutmu
ada yang mengusik dari geriap tubuhmu
bawakan setangkup duka yang dulu pernah menghias doa
biar kuiris jerami memori dan kutebar di rerumputan basah
tempat persetubuhan basah
:karam
pernah kubawa denting hati
angin tlah mencurinya dan mengalunkan
di dindingdinding jurang
gaungnya adalah koyak hasrat, cinta sia
pernah kukemas kerling rindu dari sudut yang paling relung
burungburung menyergap dan menghujamkan pada kelam
burainya adalah serpih luka
getar ini sembilu abadi
Kaki Merapi, 21 November 2011
gemeretak pikuk yang pernah kita titi
hiruk penuh liuk
pergumulan rasa menorehkan catatan pada udara yang kita hirup
sebagian kutanam di bebatuan agar tetap abadi
mungkin kau tak lagi tahu
bahwa kelam melumurkan sajaksajak ngilu
ketika persetubuhan hujan lentikkan deru
ada yang memantik dari gerai rambutmu
ada yang mengusik dari geriap tubuhmu
bawakan setangkup duka yang dulu pernah menghias doa
biar kuiris jerami memori dan kutebar di rerumputan basah
tempat persetubuhan basah
:karam
pernah kubawa denting hati
angin tlah mencurinya dan mengalunkan
di dindingdinding jurang
gaungnya adalah koyak hasrat, cinta sia
pernah kukemas kerling rindu dari sudut yang paling relung
burungburung menyergap dan menghujamkan pada kelam
burainya adalah serpih luka
getar ini sembilu abadi
Kaki Merapi, 21 November 2011
Di Ladang Jagung
Mengalir saja fikirmu seperti arus di kedalaman
meski kadang potongan pohon dan akar membuat riak di dada
aruskan jemarimu menitikkan noktahnoktah agar sepi sembilu yang mengiris angin
tak perlu hitung berapa sesah tlah bawa sesak pada ruas nadi
saat daundaun berderak karena kerut mengerak
ladang jagung riapkan kesat aroma telanjang
kelat desau di segenap jalin syaraf
:derak
berikan titiktitik gelinjang padaku sampai ruah ekstasiku
lunglai oleh senyum asing membelai
dan jagung siap dituai
karna tlah masak segala hasrat
hitung menjadi belenggu bagi luasa tapak menjejak
terlalu banyak perca terserak
sulitnya kembali rangkai nada
gerai hati tinggal untai yang tetap urai
Kaki Merapi, 20 November 2011
meski kadang potongan pohon dan akar membuat riak di dada
aruskan jemarimu menitikkan noktahnoktah agar sepi sembilu yang mengiris angin
tak perlu hitung berapa sesah tlah bawa sesak pada ruas nadi
saat daundaun berderak karena kerut mengerak
ladang jagung riapkan kesat aroma telanjang
kelat desau di segenap jalin syaraf
:derak
berikan titiktitik gelinjang padaku sampai ruah ekstasiku
lunglai oleh senyum asing membelai
dan jagung siap dituai
karna tlah masak segala hasrat
hitung menjadi belenggu bagi luasa tapak menjejak
terlalu banyak perca terserak
sulitnya kembali rangkai nada
gerai hati tinggal untai yang tetap urai
Kaki Merapi, 20 November 2011
Jemari Kita Tak Lagi Melukis Awan
Pada jejak langkah kutuliskan catatan kita
ruah pada jalanjalan ingatan
kususun satusatu di cangkir;
tempat kita menyruput rindu
sisihkan dulu beku pesisir hati
biarkan arak gelombang mencumbui pantai
tempat dulu kita berbagi sunyi
hanya nafas saling melumat
dan degup dada saling berkejaran
berselimut debur laut
tak perlu tanya kemana perahu melaju
kita layarkan saja angin sesukanya
dan kita menungganginya
buihbuih samudra adalah bulirbulir rindu
yang tak pernah usang
meski kita tlah berbincang panjang
di sini
jemari kita tak lagi melukis awan
Kaki Merapi, 18 November 2011
ruah pada jalanjalan ingatan
kususun satusatu di cangkir;
tempat kita menyruput rindu
sisihkan dulu beku pesisir hati
biarkan arak gelombang mencumbui pantai
tempat dulu kita berbagi sunyi
hanya nafas saling melumat
dan degup dada saling berkejaran
berselimut debur laut
tak perlu tanya kemana perahu melaju
kita layarkan saja angin sesukanya
dan kita menungganginya
buihbuih samudra adalah bulirbulir rindu
yang tak pernah usang
meski kita tlah berbincang panjang
di sini
jemari kita tak lagi melukis awan
Kaki Merapi, 18 November 2011
Rabu, 16 November 2011
Kawan Baru
Kemarin kita bertemu, masih kukenali wajahmu.
tapi, benar kaukah itu? jasmu licin berkilat,
berbahan kain yang mungkin permeter tak terbeli gajiku sebulan
sepatumu sungguh berkilau
rasanya bisa untuk ku bercermin
rambutmu tak lagi ikal
ntah minyak apa yang mampu melurus licinkannya
Belum sempat kubuka mulutku
kau tlah menyapaku dengan suara baritonmu
yang khas
senyum lebar dan sorot mata hangat
jabat tangan erat bersahabat
kaupun tak segan berakrab dengan orangorang yang menyapamu
kau memang kawanku yang dulu
sidangsidang, talkshow, seremoniseremoni
rupanya tak kuasa menembus dinding idealisme
yang dulu kukuh di dadamu
"kau hebat kawan, tetap lembah manah
pada orangorang pinggiran" kataku
"karena mereka sumber uang tak terbatas,
proyek madu untuk hidup sepertiku ini" tukasmu
Aih...
Kaki Merapi, 16 November 2011
tapi, benar kaukah itu? jasmu licin berkilat,
berbahan kain yang mungkin permeter tak terbeli gajiku sebulan
sepatumu sungguh berkilau
rasanya bisa untuk ku bercermin
rambutmu tak lagi ikal
ntah minyak apa yang mampu melurus licinkannya
Belum sempat kubuka mulutku
kau tlah menyapaku dengan suara baritonmu
yang khas
senyum lebar dan sorot mata hangat
jabat tangan erat bersahabat
kaupun tak segan berakrab dengan orangorang yang menyapamu
kau memang kawanku yang dulu
sidangsidang, talkshow, seremoniseremoni
rupanya tak kuasa menembus dinding idealisme
yang dulu kukuh di dadamu
"kau hebat kawan, tetap lembah manah
pada orangorang pinggiran" kataku
"karena mereka sumber uang tak terbatas,
proyek madu untuk hidup sepertiku ini" tukasmu
Aih...
Kaki Merapi, 16 November 2011
Senin, 14 November 2011
Memori
Salam kepada yang berkuasa atas hati luka
sorot matamu iriskan lembarlembar
pada runtuh menara hati
burai pada angin berjarum
bawaku di kesunyian waktu
senja tlah bergulir di tepinya
sisakan jejak di dinding sepiku
memberi gurat
menggumamkan kisah kelu
tentangmu dalam belenggu remang
kapan itu sketsamu mengecupi langkahku
dan aku gontai oleh desah
lenguh yang lama terkubur dalam jarak diam
memaksaku menggali membongkar kenangan
jangan bawa aku kembali dalam penjara
karena waktu kepadaku tlah ajarkan dera
sudahlah, cukuplah remuk yang lebam ini
tak perlu lagi dindingku berhias mimpi
selagi senja tak berbaku sunyi
rinai hujan itu
tlah cederai anganku
Kaki Merapi, 9 November 2011
sorot matamu iriskan lembarlembar
pada runtuh menara hati
burai pada angin berjarum
bawaku di kesunyian waktu
senja tlah bergulir di tepinya
sisakan jejak di dinding sepiku
memberi gurat
menggumamkan kisah kelu
tentangmu dalam belenggu remang
kapan itu sketsamu mengecupi langkahku
dan aku gontai oleh desah
lenguh yang lama terkubur dalam jarak diam
memaksaku menggali membongkar kenangan
jangan bawa aku kembali dalam penjara
karena waktu kepadaku tlah ajarkan dera
sudahlah, cukuplah remuk yang lebam ini
tak perlu lagi dindingku berhias mimpi
selagi senja tak berbaku sunyi
rinai hujan itu
tlah cederai anganku
Kaki Merapi, 9 November 2011
Rabu, 02 November 2011
Dari Yogya Untuk Indonesia
Yogyakarta sudah hujan
tapi udaranya masih panas
membawa gerah mereka di Senayan
Kaki Merapi, 3 November 2011
tapi udaranya masih panas
membawa gerah mereka di Senayan
Kaki Merapi, 3 November 2011
Musim Tak Berganti
sehelai daun melayang jatuh
tak menguning, tak juga melayu
tangkainya masih basah
oleh darah kemarin sore
didekapnya aroma bumi dalam satu hirup
sudah purba hidup
sorot matahari mencanda rekah awan
mengusapkan jejakjejak gersang di alun lagu
syair tak lagi tuah
termakan gempita yang gagap
musim ini tak juga berganti
Kaki Merapi, 30 Oktober 2011
tak menguning, tak juga melayu
tangkainya masih basah
oleh darah kemarin sore
didekapnya aroma bumi dalam satu hirup
sudah purba hidup
sorot matahari mencanda rekah awan
mengusapkan jejakjejak gersang di alun lagu
syair tak lagi tuah
termakan gempita yang gagap
musim ini tak juga berganti
Kaki Merapi, 30 Oktober 2011
Minggu, 30 Oktober 2011
Mencintaimu
Ijinkan aku mencintaimu
dengan cinta seperti tumbuhnya kuku
tak kenal henti meski jutaan kali dipotong
seperti gelombang rambutmu
mengombak di hatiku
menciptakan riakriak rindu dan buihbuih angan
memberi geletar di sekujur rasa dan denyar di kepala
aku terenjana
Biarkan aku mencintaimu
dengan cinta aloevera
tak kenal musim
sepanjang apapun kemarau menghanguskan hati
sehebat apapun hujan meluapkan banjir airmata luka
ia tetap hidup dan tumbuh
karena akarnya adalah uraturat nadi
Maka kutelutkan sujud paling sujud pada kuasa alam
bahwa badai dan gelombang laut
adalah pendar bintang pada langit rumah cinta
karena adonan cinta hilang garam
jika laut selalu tenang mengalun
Kaki Merapi, 26 Oktober 2011
dengan cinta seperti tumbuhnya kuku
tak kenal henti meski jutaan kali dipotong
seperti gelombang rambutmu
mengombak di hatiku
menciptakan riakriak rindu dan buihbuih angan
memberi geletar di sekujur rasa dan denyar di kepala
aku terenjana
Biarkan aku mencintaimu
dengan cinta aloevera
tak kenal musim
sepanjang apapun kemarau menghanguskan hati
sehebat apapun hujan meluapkan banjir airmata luka
ia tetap hidup dan tumbuh
karena akarnya adalah uraturat nadi
Maka kutelutkan sujud paling sujud pada kuasa alam
bahwa badai dan gelombang laut
adalah pendar bintang pada langit rumah cinta
karena adonan cinta hilang garam
jika laut selalu tenang mengalun
Kaki Merapi, 26 Oktober 2011
Jalan Darah Hati
sebatang jalan membujur jauh
aku sampai di ujungnya, ternyata bercabang
banyak kulihat darah berceceran di manamana
di semua cabang
terhenyak aku oleh genang merah berkilat
"apa yang terserak ini?" tanya hatiku
sebatang pohon meliuk, daunnya berkata, "kau ingin tahu?"
"kisahkan padaku," kata hatiku
syahdan, banyak pengembara terhenti di ujung jalan ini
mereka berkumpul dan berembug bagaimana membuat jalan baru
datanglah seekor gagak tibatiba berkata, "buang hati kalian,
tetes darahnya akan menjadi jalan baru
semakin banyak hati, semakin banyak dan panjang jalan."
mereka beramairamai mencabut hati dari dada dan
melemparkan sesukanya
dan jadilah jalanjalan bercabang, kemudian
mereka pergi dan kembali membawa hatihati baru
hingga semakin panjang cabangcabang jalan
maka jalan ini dinamai Jalan Darah Hati
entah di mana mereka mendapat hati
"siapakah mereka?" tanya hatiku
"jika nanti kaulihat kereta kencana dengan roda berlumur darah
itulah mereka di dalamnya," kata dedaunan mendesah
sesaat kemudian lewat kereta kencana bertabur berlian
dengan roda berlumur darah
dari berbagai cabang jalan
wajahwajah pasi bermata elang bercakap dan tertawa
kulihat lebih dekat, ada katakata di dahi mereka:
"kami tak butuh hati, apalagi puisi"
Kaki Merapi, 29 Oktober 2011
aku sampai di ujungnya, ternyata bercabang
banyak kulihat darah berceceran di manamana
di semua cabang
terhenyak aku oleh genang merah berkilat
"apa yang terserak ini?" tanya hatiku
sebatang pohon meliuk, daunnya berkata, "kau ingin tahu?"
"kisahkan padaku," kata hatiku
syahdan, banyak pengembara terhenti di ujung jalan ini
mereka berkumpul dan berembug bagaimana membuat jalan baru
datanglah seekor gagak tibatiba berkata, "buang hati kalian,
tetes darahnya akan menjadi jalan baru
semakin banyak hati, semakin banyak dan panjang jalan."
mereka beramairamai mencabut hati dari dada dan
melemparkan sesukanya
dan jadilah jalanjalan bercabang, kemudian
mereka pergi dan kembali membawa hatihati baru
hingga semakin panjang cabangcabang jalan
maka jalan ini dinamai Jalan Darah Hati
entah di mana mereka mendapat hati
"siapakah mereka?" tanya hatiku
"jika nanti kaulihat kereta kencana dengan roda berlumur darah
itulah mereka di dalamnya," kata dedaunan mendesah
sesaat kemudian lewat kereta kencana bertabur berlian
dengan roda berlumur darah
dari berbagai cabang jalan
wajahwajah pasi bermata elang bercakap dan tertawa
kulihat lebih dekat, ada katakata di dahi mereka:
"kami tak butuh hati, apalagi puisi"
Kaki Merapi, 29 Oktober 2011
Senin, 24 Oktober 2011
Teratai Cinta
kutengok hatiku, melingkar-lingkar di pusaran air kehidupan
timbul tenggelam
melambaikan cinta di setangkai kayu tua
yang gemetar digerogoti sejarah
sedang kau sibuk menghitung anak tangga dan
tak pernah mencapai puncak
sudahlah lupakan semua
bukankah telah kita semai cinta di awal musim hujan
agar tumbuh menjadi teratai tempat para katak
bermain dan bernyanyi riang
sementara ikanikan berenang berkejaran dan sembunyi
di bawahnya
tetapi waktu memang tak pernah berpihak
ia merayap, berlari, terbang, melesat tak perduli
cinta tlah menjalarkan akarnya di sekujur urat nadi
membiarkan tumbuh meliar, mengganas
menggerogoti tulang sisakan ngilu
menghisap darah sisakan luruh
sejarah purba yang selalu baru
kita saling tatap di bentang jarak dan waktu
dan bunga teratai berbiak menyemak
aku tergolek di dasar genang
tak lagi mampu menghitung jumlah
Kaki Merapi, 25 Oktober 2011
timbul tenggelam
melambaikan cinta di setangkai kayu tua
yang gemetar digerogoti sejarah
sedang kau sibuk menghitung anak tangga dan
tak pernah mencapai puncak
sudahlah lupakan semua
bukankah telah kita semai cinta di awal musim hujan
agar tumbuh menjadi teratai tempat para katak
bermain dan bernyanyi riang
sementara ikanikan berenang berkejaran dan sembunyi
di bawahnya
tetapi waktu memang tak pernah berpihak
ia merayap, berlari, terbang, melesat tak perduli
cinta tlah menjalarkan akarnya di sekujur urat nadi
membiarkan tumbuh meliar, mengganas
menggerogoti tulang sisakan ngilu
menghisap darah sisakan luruh
sejarah purba yang selalu baru
kita saling tatap di bentang jarak dan waktu
dan bunga teratai berbiak menyemak
aku tergolek di dasar genang
tak lagi mampu menghitung jumlah
Kaki Merapi, 25 Oktober 2011
Rabu, 19 Oktober 2011
Renjana Sunyi
senja menyapa, hadirkan angin pada rambutmu
sentakkan buncah pada kolam hasrat yang tibatiba
bergolak oleh lompat anakanak bermain air
aroma tubuhmu bangunkan beribu letup
di simpulsimpul syaraf
seakan adonan bubur pada titik didihnya
tanpa suara
aku terenjana
sejenak aku mabuk pada kilat kerling
merencah kepala; membawaku pada kemarau
dengan sungaisungai menadahkan tangan
dan tanahtanah rekah tengadah
berkata kepada langit, "cucurkan hujan pembasuh luka"
hening
kerontang sudah ilalang di ladang
tempat kita dulu bersua pandang
jejakmu dan jejakku tak lagi nampak bersilangan
karna debu dan layu dedaunan
lewat masa berganti
belati ini tak pernah mau berhenti
menusukkan sunyi
Kaki Merapi, 20 Oktober 2011
sentakkan buncah pada kolam hasrat yang tibatiba
bergolak oleh lompat anakanak bermain air
aroma tubuhmu bangunkan beribu letup
di simpulsimpul syaraf
seakan adonan bubur pada titik didihnya
tanpa suara
aku terenjana
sejenak aku mabuk pada kilat kerling
merencah kepala; membawaku pada kemarau
dengan sungaisungai menadahkan tangan
dan tanahtanah rekah tengadah
berkata kepada langit, "cucurkan hujan pembasuh luka"
hening
kerontang sudah ilalang di ladang
tempat kita dulu bersua pandang
jejakmu dan jejakku tak lagi nampak bersilangan
karna debu dan layu dedaunan
lewat masa berganti
belati ini tak pernah mau berhenti
menusukkan sunyi
Kaki Merapi, 20 Oktober 2011
Senin, 17 Oktober 2011
Sajak Cinta
kutulis ini untuk sedikit mengurai gumpal rindu
di tiap simpul syarafku,
sejak kau lemparkan benih rasa di ladang hati;
dia tumbuh menyemak
meski musim hujan tak kunjung datang
kemarau ini justru menjadikannya kaktus berduri ilalang
yang akarnya adalah seluruh urat nadi
di banyak ladang anakanak bermain layanglayang
bergambar raut wajahmu
dan rumbainya melambai padaku,
menggeraikan rambutmu mengusap
basah relungku.
batangbatang tebu meliuk,
daundaunnya menari bermusik angin
sambil mendesaukan lagu rindu
untukku
ataukah
untuk kita?
mestinya sepasang matamu
pada wajah yang memenuhi kepalaku
menyaksikan pula di batas senja
sepasang angsa berdansa cinta
dan merasakan desah nafas mereka
dalam renjana
seperti yang masih kurasakan sapu nafasmu
merasuk rongga dadaku
membasuh bilur hati, melebam karna buluh waktu
sejenak kupejam mata agar sketsa rautmu
menjelma lukis wajah, membantu jemariku
mengguratnya di ruang hati paling sunyi
sajak ini mengalir sendiri
tak kuasa membunuh sepi
Kaki Merapi, 14 Oktober 2011
di tiap simpul syarafku,
sejak kau lemparkan benih rasa di ladang hati;
dia tumbuh menyemak
meski musim hujan tak kunjung datang
kemarau ini justru menjadikannya kaktus berduri ilalang
yang akarnya adalah seluruh urat nadi
di banyak ladang anakanak bermain layanglayang
bergambar raut wajahmu
dan rumbainya melambai padaku,
menggeraikan rambutmu mengusap
basah relungku.
batangbatang tebu meliuk,
daundaunnya menari bermusik angin
sambil mendesaukan lagu rindu
untukku
ataukah
untuk kita?
mestinya sepasang matamu
pada wajah yang memenuhi kepalaku
menyaksikan pula di batas senja
sepasang angsa berdansa cinta
dan merasakan desah nafas mereka
dalam renjana
seperti yang masih kurasakan sapu nafasmu
merasuk rongga dadaku
membasuh bilur hati, melebam karna buluh waktu
sejenak kupejam mata agar sketsa rautmu
menjelma lukis wajah, membantu jemariku
mengguratnya di ruang hati paling sunyi
sajak ini mengalir sendiri
tak kuasa membunuh sepi
Kaki Merapi, 14 Oktober 2011
Perubahan
tadi kita jumpa di simpang lama, lusuh
wajahmu kuyu dan tirus, tulang pipi pongah menantang,
dan matamu meringkuk namun sorotmu tak
hilang garang
kujabat belulang jemarimu
gemeretak merobek udara
menusukkan butiran pasir di dadaku
kau tersenyum tipis,
tak kupahami lagi arti
ingatan berkelebat bertahun silam
tegap sosokmu dengan dada bidang
senyummu mentari pagi dan gurat saga senja
kita berbaku kata, saling canda
waktu memang tak punya perasaan
melindas apapun yang ada
mengganti tanpa bertanya
tanpa tawar menawar
bhusss...
seperti tukang sulap menjadikan bunga
guguran kertas
maka kutanya dirimu, "apa sebab?"
"perubahan butuh tumbal," katamu
tertegun aku
Kaki Merapi, 11 Oktober 2011
wajahmu kuyu dan tirus, tulang pipi pongah menantang,
dan matamu meringkuk namun sorotmu tak
hilang garang
kujabat belulang jemarimu
gemeretak merobek udara
menusukkan butiran pasir di dadaku
kau tersenyum tipis,
tak kupahami lagi arti
ingatan berkelebat bertahun silam
tegap sosokmu dengan dada bidang
senyummu mentari pagi dan gurat saga senja
kita berbaku kata, saling canda
waktu memang tak punya perasaan
melindas apapun yang ada
mengganti tanpa bertanya
tanpa tawar menawar
bhusss...
seperti tukang sulap menjadikan bunga
guguran kertas
maka kutanya dirimu, "apa sebab?"
"perubahan butuh tumbal," katamu
tertegun aku
Kaki Merapi, 11 Oktober 2011
Minggu, 09 Oktober 2011
Terkerat Hati
Langit berlari sambil tertawa
menjatuhkan badannya di kasur
dan menghujamkan kepala di guling
Dakkk...
dahinya menghantam pinggir siku dinding
meledak tangisnya
terkerat hati papanya
Kaki Merapi, 09 Oktober 2011
menjatuhkan badannya di kasur
dan menghujamkan kepala di guling
Dakkk...
dahinya menghantam pinggir siku dinding
meledak tangisnya
terkerat hati papanya
Kaki Merapi, 09 Oktober 2011
Sepotong Malam
Sepotong malam membawa jemariku berjingkat
membuka lembarlembar lama kita
di sudut ingatan
Kaki Merapi, 09 Oktober 2011
membuka lembarlembar lama kita
di sudut ingatan
Kaki Merapi, 09 Oktober 2011
Dimming Hope
Gone the days, come along the nights
the wind scatters away
tranquility torn apart
so tiny pieces becomes
silence swallows 'em and leaves hollow
see bodies buried on the ground, shallow
creating red ponds in the descent hearts
no more tears
emptied by miseries
agony is the air to breathe
life and death
lost and glory
dream and reality
are but twins with a mirror between
and thine
and mine
are but invisible dust
never does it stay in hand
Gone the days, come along the nights
no border traces
no country stays
search no more,
but a dimming hope in the middle of gloom
for love is tugged from the very parlor of our hearts
Kaki Merapi, 8 Oktober 2011
the wind scatters away
tranquility torn apart
so tiny pieces becomes
silence swallows 'em and leaves hollow
see bodies buried on the ground, shallow
creating red ponds in the descent hearts
no more tears
emptied by miseries
agony is the air to breathe
life and death
lost and glory
dream and reality
are but twins with a mirror between
and thine
and mine
are but invisible dust
never does it stay in hand
Gone the days, come along the nights
no border traces
no country stays
search no more,
but a dimming hope in the middle of gloom
for love is tugged from the very parlor of our hearts
Kaki Merapi, 8 Oktober 2011
Kamis, 06 Oktober 2011
Tennessee Waltz
menggaung Tennessee Waltz di dinding rasa
melaras getar lewat angin senyap
hadirkan denting hati tanpa nada
sepercik masa menoreh lirih kepak desah; menusuk
menggurah rongga sunyi; gelap
seperti belai asing angin pada rambutmu
sorotmu hadirkan bungkah resah
pucuk dedaunan pada hentak udara bergulir
cicit anak burung menyambut suap
kulaikan seribu kenang
alir pada tubuh tanpa irama
sekejap bening runtuh membasah ladang dada
sentakkan nada rasa dalam kecipaknya
gurat sebilah buluh
saat senyummu melayu di sana
dalam rengkuh dekap tanpa nama
Kaki Merapi, 5 Oktober 2011
melaras getar lewat angin senyap
hadirkan denting hati tanpa nada
sepercik masa menoreh lirih kepak desah; menusuk
menggurah rongga sunyi; gelap
seperti belai asing angin pada rambutmu
sorotmu hadirkan bungkah resah
pucuk dedaunan pada hentak udara bergulir
cicit anak burung menyambut suap
kulaikan seribu kenang
alir pada tubuh tanpa irama
sekejap bening runtuh membasah ladang dada
sentakkan nada rasa dalam kecipaknya
gurat sebilah buluh
saat senyummu melayu di sana
dalam rengkuh dekap tanpa nama
Kaki Merapi, 5 Oktober 2011
Senin, 03 Oktober 2011
Kerinduan
dik, bisakah kau ajari aku menyiangi kerinduan
ia tak kenal musim dan sama sekali tak punya rasa hormat
tumbuh dan mekar kapan saja menyemaki rongga dada
bisakah kau ajari aku menjinakkannya
sudah kusiapkan lahan subur baginya di sudut hati
di mana dia dapat leluasa tumbuh dan berbunga
aku hanya minta jangan bermain-main dengan jantungku
mengubah-ubah degupnya tanpa peduli aku kuat atau tidak
aku siap atau tidak
barangkali aku salah dan terlalu menganggap remeh
senyum yang dulu kau jatuhkan di hamparan semak sunyiku
kini lihatlah betapa cepat dia tumbuh dan membelukar
menyumbat jalan darah jalan nafas jalan akal
aku rabun disekap rimbun ranting dan daunnya
sekarat diamuk nektar madunya
dik, bisakah kau ajari aku menyiangi kerinduan ini
karena kaulah yang dulu menjatuhkannya di sini di hatiku
jba 110325
(Sajak karya Jim B. Aditya. Dsimpan disini karena aku suka banget dan sudah minta ijin yang pemilik sajak)
ia tak kenal musim dan sama sekali tak punya rasa hormat
tumbuh dan mekar kapan saja menyemaki rongga dada
bisakah kau ajari aku menjinakkannya
sudah kusiapkan lahan subur baginya di sudut hati
di mana dia dapat leluasa tumbuh dan berbunga
aku hanya minta jangan bermain-main dengan jantungku
mengubah-ubah degupnya tanpa peduli aku kuat atau tidak
aku siap atau tidak
barangkali aku salah dan terlalu menganggap remeh
senyum yang dulu kau jatuhkan di hamparan semak sunyiku
kini lihatlah betapa cepat dia tumbuh dan membelukar
menyumbat jalan darah jalan nafas jalan akal
aku rabun disekap rimbun ranting dan daunnya
sekarat diamuk nektar madunya
dik, bisakah kau ajari aku menyiangi kerinduan ini
karena kaulah yang dulu menjatuhkannya di sini di hatiku
jba 110325
(Sajak karya Jim B. Aditya. Dsimpan disini karena aku suka banget dan sudah minta ijin yang pemilik sajak)
Minggu, 02 Oktober 2011
Matahari Saga
Siput waktu tertatih melesat melebihi kilat
maka kau sua cermin yang kemarin masih
mantulkan tawa lugu kanakkanakmu
tanpa kecipak gelisah
tanpa riak resah
kau tatap cermin lekat
gelombang garam genangi kujur tubuhmu
ribu bumbu dapur tlah luruh di tiap larik nadi
didih luka
gigil lara
lautkan jelajahmu pada kedalaman alam
kau, matahari saga yang tetap terjaga
(untuk ulang tahun pak Tengsoe Tjahjono)
Yogyakarta, 3 Oktober 2011
maka kau sua cermin yang kemarin masih
mantulkan tawa lugu kanakkanakmu
tanpa kecipak gelisah
tanpa riak resah
kau tatap cermin lekat
gelombang garam genangi kujur tubuhmu
ribu bumbu dapur tlah luruh di tiap larik nadi
didih luka
gigil lara
lautkan jelajahmu pada kedalaman alam
kau, matahari saga yang tetap terjaga
(untuk ulang tahun pak Tengsoe Tjahjono)
Yogyakarta, 3 Oktober 2011
Luka Abadi
runtuh sudah atap kemanusiaan oleh cecer darah
iblis menari rancak mengecrak genang merah
sambil bersenandung luka abadi
sementara kalian sibuk bernegosiasi
sambil meneggak anggur murni
mereka berkubang airmata tak henti
karna anak, istri, atau suami yang tibatiba pergi
membawa segenap mimpi
seorang bocah kecil di sudut jalan
meringkuk tubuhnya dalam gigil hujan, gemetar
kudekati dia, matanya kosong
seolah aku tersungkur di sumur mati
kutanya dia, "mengapa kau di sini, sendiri?"
dia balik bertanya, "mengapa tuan peduli?"
maka setanpun riang menari
sambil senandung luka abadi
entah untuk siapa
Kaki Merapi, 30 September 2011
iblis menari rancak mengecrak genang merah
sambil bersenandung luka abadi
sementara kalian sibuk bernegosiasi
sambil meneggak anggur murni
mereka berkubang airmata tak henti
karna anak, istri, atau suami yang tibatiba pergi
membawa segenap mimpi
seorang bocah kecil di sudut jalan
meringkuk tubuhnya dalam gigil hujan, gemetar
kudekati dia, matanya kosong
seolah aku tersungkur di sumur mati
kutanya dia, "mengapa kau di sini, sendiri?"
dia balik bertanya, "mengapa tuan peduli?"
maka setanpun riang menari
sambil senandung luka abadi
entah untuk siapa
Kaki Merapi, 30 September 2011
Jangan Lagi Bertanya
lalu kita diam, meski riuh pikir dan hiruk hati
biar mereka saja bicara hingga buihnya mengangkasa
dan jatuh menjadi hujan katakata,
ditelan bumi
mengalir bersama air menuju samudera
tinggalkan senyap
untuk kita
sudah lelah jiwajiwa kembara
oleh keramaian semu
sekedar menjadi gincu
dan baju melapuk di sudutsudut remang
tempat berteduh sesaat tlah ditelan fatamorgana
sisakan bayang air pada samsara dahaga
lalu kita saling pandang
tanya menghilang di sepanjang panas jalanan
tak perlu kita cari di mana tanya
berkatalah
jangan lagi bertanya
Kaki Merapi, 1 Oktober 2011
biar mereka saja bicara hingga buihnya mengangkasa
dan jatuh menjadi hujan katakata,
ditelan bumi
mengalir bersama air menuju samudera
tinggalkan senyap
untuk kita
sudah lelah jiwajiwa kembara
oleh keramaian semu
sekedar menjadi gincu
dan baju melapuk di sudutsudut remang
tempat berteduh sesaat tlah ditelan fatamorgana
sisakan bayang air pada samsara dahaga
lalu kita saling pandang
tanya menghilang di sepanjang panas jalanan
tak perlu kita cari di mana tanya
berkatalah
jangan lagi bertanya
Kaki Merapi, 1 Oktober 2011
Rabu, 28 September 2011
Lagu Asmara
Kekasih,
awan berkejaran mengarak matahari mengusap hati kita
kilaumu dedaunan pagi berpucuk embun,
sekejap mengurai pesona merasuk jiwa.
Senyummu melodi pemain harpa mendawaikan lenguh cintanya
dia tebarkan nada menelusup udara,
menyesaki kepala kita tentang asmara berdansa di awan.
Kekasih.
Kukirimkan rindu lewat denting angin menelusup hatimu,
agar mimpimu berselimut hangat angan kita.
Kaki Merapi, 20 Agustus 2011
awan berkejaran mengarak matahari mengusap hati kita
kilaumu dedaunan pagi berpucuk embun,
sekejap mengurai pesona merasuk jiwa.
Senyummu melodi pemain harpa mendawaikan lenguh cintanya
dia tebarkan nada menelusup udara,
menyesaki kepala kita tentang asmara berdansa di awan.
Kekasih.
Kukirimkan rindu lewat denting angin menelusup hatimu,
agar mimpimu berselimut hangat angan kita.
Kaki Merapi, 20 Agustus 2011
Masih Kubaca Catatan Tanah Ini
Masih kubaca jejak catatan tanah ini
genang nanah dan sedu tangis membayangi rintih negri
perutperut menantang dengan tulang dada terpanggang
di emperemper toko, di trotoar, di perempatan jalan
di kolong jembatan, di pinggir kali, di gubukgubuk berdempetan
seperti ikan asin dalam terik jemuran
bersanding perutperut menantang penuh gajih bergoyang
di pusat perbelanjaan, di hotel mewah, di gedung pencakar langit
di restoran, di layar televisi
Masih kubaca catatan hari ini negri ini
genang darah dan jerit ngeri membungkam retorika basi
tubuhtubuh berceceran, berjuta lalat hinggap merubung luka
dentum ideologi buta meledak di manamana
sedang di gedung megah katakata berserakan kehilangan makna
menebar pesona saling berebut menggagahi kuasa
dan menghisap tandas para jelata
Masih kubaca berita negri ini
Aku pingsan berdiri
Yogyakarta, 29 September 2011
genang nanah dan sedu tangis membayangi rintih negri
perutperut menantang dengan tulang dada terpanggang
di emperemper toko, di trotoar, di perempatan jalan
di kolong jembatan, di pinggir kali, di gubukgubuk berdempetan
seperti ikan asin dalam terik jemuran
bersanding perutperut menantang penuh gajih bergoyang
di pusat perbelanjaan, di hotel mewah, di gedung pencakar langit
di restoran, di layar televisi
Masih kubaca catatan hari ini negri ini
genang darah dan jerit ngeri membungkam retorika basi
tubuhtubuh berceceran, berjuta lalat hinggap merubung luka
dentum ideologi buta meledak di manamana
sedang di gedung megah katakata berserakan kehilangan makna
menebar pesona saling berebut menggagahi kuasa
dan menghisap tandas para jelata
Masih kubaca berita negri ini
Aku pingsan berdiri
Yogyakarta, 29 September 2011
Laila
Sejenak usai dera samsara
jalan masih panjang
sajadah juang masih harus tergelar
untuk rengkuh pendarnya
Laila, aku menunggumu
Kaki Merapi, 3 September 2011
jalan masih panjang
sajadah juang masih harus tergelar
untuk rengkuh pendarnya
Laila, aku menunggumu
Kaki Merapi, 3 September 2011
Gemetar
Tiba-tiba kau hadir merobek tirai rasa
deras darahku berdesir
waktu seketika berhenti
kembali kau sisakan lunglai pada ngiluku
Duhai sayang,
jemariku gemetar melukis rautmu dalam angan
Kaki Merapi, 24 September 2011
deras darahku berdesir
waktu seketika berhenti
kembali kau sisakan lunglai pada ngiluku
Duhai sayang,
jemariku gemetar melukis rautmu dalam angan
Kaki Merapi, 24 September 2011
Aku Ingin
aku ingin senantiasa berlayar telusuri lautan jaman
mendekap segala ombaknya,
mencumbu seluruh buihnya
dan meluruh dalam buai tidurnya
Yogyakarta, 28 September 2011
Rinduku Ngilu
Sajak Kolaborasi 4:
Abah Yoyok (Cisauk)
Erny Susanty (Jakarta)
Romadhoni Onie (Minang)
RB. Edi Pramono (Yogyakarta)
Kau hadir merobek tirai rasa
deras darahku berdesir
waktu seketika berhenti
kembali kau sisakan lunglai pada ngiluku
Tak kupungkiri pesona magismu
aku terlena, aku beringsut, aku berlalu
mengejar bayangku
dan angin mengalir
daun daun gugur di beranda hati
tembang trenyuh sekar megatruh
gemantung di langit rubuh
Tambat itu telah lama lepas
namun biduk ini tak juga lalu
perlahan akhirnya hujan membasuh
semua kata yang menjangkar di sana
Duhai sayang,
jemariku gemetar melukis rautmu dalam angan.
26 September 2011
Abah Yoyok (Cisauk)
Erny Susanty (Jakarta)
Romadhoni Onie (Minang)
RB. Edi Pramono (Yogyakarta)
Kau hadir merobek tirai rasa
deras darahku berdesir
waktu seketika berhenti
kembali kau sisakan lunglai pada ngiluku
Tak kupungkiri pesona magismu
aku terlena, aku beringsut, aku berlalu
mengejar bayangku
dan angin mengalir
daun daun gugur di beranda hati
tembang trenyuh sekar megatruh
gemantung di langit rubuh
Tambat itu telah lama lepas
namun biduk ini tak juga lalu
perlahan akhirnya hujan membasuh
semua kata yang menjangkar di sana
Duhai sayang,
jemariku gemetar melukis rautmu dalam angan.
26 September 2011
Menanti
tuliskan sajak untukku kekasih, agar penuh hatiku
pagi ini embun telah menguap sebelum matahari menyapa
dendang burungpun kedap disekap remang
gigil hatiku pada harap senyummu
Kaki Merapi, 27 September 2011
pagi ini embun telah menguap sebelum matahari menyapa
dendang burungpun kedap disekap remang
gigil hatiku pada harap senyummu
Kaki Merapi, 27 September 2011
Minggu, 25 September 2011
HOPE
And history of the earth has claimed
through breath and sweat, blood and fame,
no horrors and nightmares shall bear a name
but evil of all forms that plays the game
lets every soul burnt without flame
and death shall dance for there's no shame,
that truth is truth though often stained
that hurts be healed when love remains
that peace for bloody tears shall come to change
And history of the earth has claimed
that hope is the true core of the game.
Kaki Merapi, 25 Sept 2011
through breath and sweat, blood and fame,
no horrors and nightmares shall bear a name
but evil of all forms that plays the game
lets every soul burnt without flame
and death shall dance for there's no shame,
that truth is truth though often stained
that hurts be healed when love remains
that peace for bloody tears shall come to change
And history of the earth has claimed
that hope is the true core of the game.
Kaki Merapi, 25 Sept 2011
RINDU
Sesak dan kesah rindu pada tiap titik pori
dan butir darah menangkup seluruh waktu
menelusur sungaisungai rasa,
menggolakkan hasrat tergurat penuh di dinding jiwa
melahirkan buncah gelombang menderas
Sesak dan kesah rindu melautkan malam
pada sajaksajak cinta yang mengalun dalam bisik angin
merasukkan saga senja dalam tari cinta para angsa
Duhai rindu, aku ingin tenggelam dalam lautmu
Kaki Merapi, 25 Sept 2011
dan butir darah menangkup seluruh waktu
menelusur sungaisungai rasa,
menggolakkan hasrat tergurat penuh di dinding jiwa
melahirkan buncah gelombang menderas
Sesak dan kesah rindu melautkan malam
pada sajaksajak cinta yang mengalun dalam bisik angin
merasukkan saga senja dalam tari cinta para angsa
Duhai rindu, aku ingin tenggelam dalam lautmu
Kaki Merapi, 25 Sept 2011
Jumat, 23 September 2011
Kelebat Rautmu Hinggap di Tiangtiang Nadiku
Kelebat rautmu hinggap di tiangtiang nadiku
memberi geriap pada bulirbulir darah
berkejaran di rimba rasa
Alun biola membawa segenap fikirku
pada masa kita berbaku asmara di tepi awan
kau kepakkan sayapmu dan tertebar kilau perca
runtuh bertabur
di tiapnya tlah kau ukir katakata rindu
karena penantian yang tak mengenal waktu
Di tiapnya ingin pula kugambar rindu
karna rentang yang tak juga mengenal waktu
tapi jemariku gemetar oleh denging harpa
mematuki tiaptiap pori kulitku dan membangunkan
tiaptiap bulu tubuh yang tak pernah mengenal pagi
Denting piano mengajakku kelana pada tiap gurat
rautmu, menyelip di antara relungnya dan melenakan
butirbutir perih seperti sajak senja
menimang anakanak burung di sarangnya
Kekasih, alunkan kembali simfoni jiwa yang merindu
agar tertuntun langkahku menuju tempat berlabuh
Kaki Merapi, 23 September 2011
memberi geriap pada bulirbulir darah
berkejaran di rimba rasa
Alun biola membawa segenap fikirku
pada masa kita berbaku asmara di tepi awan
kau kepakkan sayapmu dan tertebar kilau perca
runtuh bertabur
di tiapnya tlah kau ukir katakata rindu
karena penantian yang tak mengenal waktu
Di tiapnya ingin pula kugambar rindu
karna rentang yang tak juga mengenal waktu
tapi jemariku gemetar oleh denging harpa
mematuki tiaptiap pori kulitku dan membangunkan
tiaptiap bulu tubuh yang tak pernah mengenal pagi
Denting piano mengajakku kelana pada tiap gurat
rautmu, menyelip di antara relungnya dan melenakan
butirbutir perih seperti sajak senja
menimang anakanak burung di sarangnya
Kekasih, alunkan kembali simfoni jiwa yang merindu
agar tertuntun langkahku menuju tempat berlabuh
Kaki Merapi, 23 September 2011
Kulai
Ketika tiba pada puncak titik buih rasa
aku adalah sebutir embun pagi terkecup matahari
pada sepi
23 September 2011
aku adalah sebutir embun pagi terkecup matahari
pada sepi
23 September 2011
Kamis, 22 September 2011
Benang Hasrat
Kaulihat leret rindu di sudut mataku?
Ingin kupintal menjadi benang hasrat padamu
dan mengikatkan di palung rengkuhmu.
Malam tlah meranum
menanti jemari cinta kita memetiknya,
jangan biarkan dia menanti
dan membusuk pada tangkai pagi.
Kaki Merapi, 22 Sept 2011
Ingin kupintal menjadi benang hasrat padamu
dan mengikatkan di palung rengkuhmu.
Malam tlah meranum
menanti jemari cinta kita memetiknya,
jangan biarkan dia menanti
dan membusuk pada tangkai pagi.
Kaki Merapi, 22 Sept 2011
Senin, 19 September 2011
Kutuliskan Sajak Ini Untukmu
Kutuliskan sajak ini untukmu karena rindu tibatiba menyengatku
mencipta lebam memerah pada kujur hati
mengalirkan deras darah pada bubungbubung nadi
seperti alir jeram sungai menghantam bebatuan
nun di bawah
mencipta leretleret pelangi pada biasnya
Percikpercik air merambah hati
sejenak sempat kerontang
oleh geliat waktu yang sering terburu
menerbangkan debudebu memerahkan mataku
mengalirkan kerjapkerjap mengabur rautmu
Maka kupetik dawai gitar
mendentingkan nadanada kesah hati
menembang bayangmu
Kudengar denging seruling dari palung tak berujung
meningkahi denting dawai menyepuh harmoni
membawa rinaiku padamu
Kutuliskan sajak ini untukmu
karena rindu tak pernah mengenal waktu
Kaki Merapi, 19 Sept 2011
mencipta lebam memerah pada kujur hati
mengalirkan deras darah pada bubungbubung nadi
seperti alir jeram sungai menghantam bebatuan
nun di bawah
mencipta leretleret pelangi pada biasnya
Percikpercik air merambah hati
sejenak sempat kerontang
oleh geliat waktu yang sering terburu
menerbangkan debudebu memerahkan mataku
mengalirkan kerjapkerjap mengabur rautmu
Maka kupetik dawai gitar
mendentingkan nadanada kesah hati
menembang bayangmu
Kudengar denging seruling dari palung tak berujung
meningkahi denting dawai menyepuh harmoni
membawa rinaiku padamu
Kutuliskan sajak ini untukmu
karena rindu tak pernah mengenal waktu
Kaki Merapi, 19 Sept 2011
Senin, 12 September 2011
Butir Cintaku
Waktu lewat begitu saja, aku masih sibuk menghitung
butirbutir cintaku yang selama ini telah
melahirkan sejarah rindu menggugu. Ah, senja
tengah melambai beranjak lalu, sementara engkau
di situ membiaskan senyum pada tingkahku.
Pergilah sejenak, sudah banyak senja berlalu
tak jua usai hitungku atas butir cintaku padamu.
Sudah beribu kuhitung, karna angin kembali terserak lagi.
butirbutir cintaku yang selama ini telah
melahirkan sejarah rindu menggugu. Ah, senja
tengah melambai beranjak lalu, sementara engkau
di situ membiaskan senyum pada tingkahku.
Pergilah sejenak, sudah banyak senja berlalu
tak jua usai hitungku atas butir cintaku padamu.
Sudah beribu kuhitung, karna angin kembali terserak lagi.
PULANG
Puisi kolaborasi tiga:
Kusnadi Arraihan (Medan)
Erny Susanty (Jakarta)
RB. Edi Pramono (Yogyakarta)
berhentilah sejenak, jika berkenan, pulanglah ke hamparan padang rumput
tinggalkan saja tanah kemarau tanpa hujan
berhenti, tengoklah aku sejenak
sekali lagi, jika kau benar pulang,
bawalah aku dari ruang pekat ini, meski matahari tak berhenti menikam tajam
tapak kakiku memerah karna terjal hatimu harus kulalui
sementara sungaisungai dalam alir nadiku meremangkan sekujur
berikan lagi sekejap angan yang pernah mampir pada suatu masa
meski hanya sekejap
jika langkahmu memang harus tergesa
pada sebuah peta, mungkin ada petunjuk
di mana mata air bukan sekedar airmata, terlalu asin untuk direguk
meski kita sama tahu, masih ada peluh menghujani tubuh gontai berjalan,
hingga doadoa tertinggal membaca dirinya sendiri.
jalan dihadapan telah kubangun jembatanjembatan pada tiap lembah
kerna menuju rumah adalah napaktilas tentang kenangan,
betapa kita pernah tenggelam oleh waktu, tertinggal pada silam,
dan hati butuh jalan pulang, jiwa butuh rumah untuk bersemayam.
seperti ikan salmon di musim pijah, mereka berbilahbilah kembali pulang
seperti orangorang di kala lebaran, mereka berbondong menumpahi kampungnya
tlah kusiapkan ranjang kita bermanik tasbih pada keempat ujungnya
tlah kugelar sajadah rindu bersaput beludru, kupintal dari relungku
untuk menyambutmu
untuk menyambutmu
pulang keharibaan dadaku yang paling laut
8 September 2011
Kusnadi Arraihan (Medan)
Erny Susanty (Jakarta)
RB. Edi Pramono (Yogyakarta)
berhentilah sejenak, jika berkenan, pulanglah ke hamparan padang rumput
tinggalkan saja tanah kemarau tanpa hujan
berhenti, tengoklah aku sejenak
sekali lagi, jika kau benar pulang,
bawalah aku dari ruang pekat ini, meski matahari tak berhenti menikam tajam
tapak kakiku memerah karna terjal hatimu harus kulalui
sementara sungaisungai dalam alir nadiku meremangkan sekujur
berikan lagi sekejap angan yang pernah mampir pada suatu masa
meski hanya sekejap
jika langkahmu memang harus tergesa
pada sebuah peta, mungkin ada petunjuk
di mana mata air bukan sekedar airmata, terlalu asin untuk direguk
meski kita sama tahu, masih ada peluh menghujani tubuh gontai berjalan,
hingga doadoa tertinggal membaca dirinya sendiri.
jalan dihadapan telah kubangun jembatanjembatan pada tiap lembah
kerna menuju rumah adalah napaktilas tentang kenangan,
betapa kita pernah tenggelam oleh waktu, tertinggal pada silam,
dan hati butuh jalan pulang, jiwa butuh rumah untuk bersemayam.
seperti ikan salmon di musim pijah, mereka berbilahbilah kembali pulang
seperti orangorang di kala lebaran, mereka berbondong menumpahi kampungnya
tlah kusiapkan ranjang kita bermanik tasbih pada keempat ujungnya
tlah kugelar sajadah rindu bersaput beludru, kupintal dari relungku
untuk menyambutmu
untuk menyambutmu
pulang keharibaan dadaku yang paling laut
8 September 2011
KARANG RINDU
Sajak kolaborasi 3:
Lim Sahih (Pontianak)
Erny Susanty (Jakarta)
RB. Edi Pramono (Yogyakarta)
buih-buih laut itu mengukir kisah di batu karang
aku terperangkap sederetan panjang kenangan
dan gelombang, surut membawa serta tulisan namamu
mengejek, sementara aku tertunduk syahdu, pilu
angin menghantam; kian kumerindu
beribu jala kucanang
kala air telah pasang
bayangmu bergerak
bersinar dalam gelak
laut bergetar
dalam dada terujar
“kaukah disana?”
wahai kasih, engkaukah itu
menghapiriku dalam buihbuih mengalun gelombang?
ataukah hasratku terlalu pekat hingga butir pasir inipun
memantulkan raut wajahmu, mengalir dalam kesah hatiku?
setiap hela nafasku kini adalah laut di bibir kelu
bahkan namamu yang kulukis di dinding pasir
perlahan berlalu mengecup ombak...
harapku terpana
dalam jala rindu
Indonesia, 13 September 2011
Lim Sahih (Pontianak)
Erny Susanty (Jakarta)
RB. Edi Pramono (Yogyakarta)
buih-buih laut itu mengukir kisah di batu karang
aku terperangkap sederetan panjang kenangan
dan gelombang, surut membawa serta tulisan namamu
mengejek, sementara aku tertunduk syahdu, pilu
angin menghantam; kian kumerindu
beribu jala kucanang
kala air telah pasang
bayangmu bergerak
bersinar dalam gelak
laut bergetar
dalam dada terujar
“kaukah disana?”
wahai kasih, engkaukah itu
menghapiriku dalam buihbuih mengalun gelombang?
ataukah hasratku terlalu pekat hingga butir pasir inipun
memantulkan raut wajahmu, mengalir dalam kesah hatiku?
setiap hela nafasku kini adalah laut di bibir kelu
bahkan namamu yang kulukis di dinding pasir
perlahan berlalu mengecup ombak...
harapku terpana
dalam jala rindu
Indonesia, 13 September 2011
Aku Ingin
Aku ingin menjadi kosong agar bisa menampung
semua pendar kasihmu
seperti kelopak bunga pasrah pada kecup lebah
untuk menghasilkan madu.
Matahari meranum pada gigir cakrawala,
mengundang rindu tertebar di taman jiwa.
Jalanan ini masih membisu.
Wahai kasih,
adakah itu engkau menyungging senyum sekuntum anggrek
pada musim kembang?
Aroma renjana tibatiba menyergap kepalaku
senja masih saja tergugu
meski riuh cemara belum berlalu
semua pendar kasihmu
seperti kelopak bunga pasrah pada kecup lebah
untuk menghasilkan madu.
Matahari meranum pada gigir cakrawala,
mengundang rindu tertebar di taman jiwa.
Jalanan ini masih membisu.
Wahai kasih,
adakah itu engkau menyungging senyum sekuntum anggrek
pada musim kembang?
Aroma renjana tibatiba menyergap kepalaku
senja masih saja tergugu
meski riuh cemara belum berlalu
Turunkan Hujan
Jangan turunkan api pada saat seperti ini
karena bumiku tengah membara dengan berbagai peristiwa,
bergolak tak henti.
Turunkan saja hujan, kini seolah tinggal mimpi,
entah di mana dia sembunyi.
Sawah ladang sudah kerontang dengan retakretak tanah menantang;
pohonpohon kaku menjulang menyisakan satu dua daun hijau,
dulu pernah rimbun memukau.
Debudebu acapkali menari dalam tetabuhan angin
persis saat roda melindas dan melintas
Di atas sana banyak api masih membara
memancar dari dadadada di mana puasa belum punya kuasa,
menjadikan kemarau seolah abadi menghuni hati.
Maka kebakaran di manamana
Ayolah, turunkan saja hujan,
agar rinduku tak meranggas
dan cintaku seperti gelombang menderas.
Kaki Merapi, 9 Sept 2011
karena bumiku tengah membara dengan berbagai peristiwa,
bergolak tak henti.
Turunkan saja hujan, kini seolah tinggal mimpi,
entah di mana dia sembunyi.
Sawah ladang sudah kerontang dengan retakretak tanah menantang;
pohonpohon kaku menjulang menyisakan satu dua daun hijau,
dulu pernah rimbun memukau.
Debudebu acapkali menari dalam tetabuhan angin
persis saat roda melindas dan melintas
Di atas sana banyak api masih membara
memancar dari dadadada di mana puasa belum punya kuasa,
menjadikan kemarau seolah abadi menghuni hati.
Maka kebakaran di manamana
Ayolah, turunkan saja hujan,
agar rinduku tak meranggas
dan cintaku seperti gelombang menderas.
Kaki Merapi, 9 Sept 2011
Jumat, 26 Agustus 2011
Di Penghujung Ramadhan
Duhai kekasihku,
engkau mengundangku ke dalam kemahmu dan berdiam
menyimak bisik pasir yang memantulkan safaat
segenap penjuru bumi bagimu
kusandarkan kepalaku pada bilah jantungmu
yang berdetak lembut mengalunkan tembang-tembang ilahi
dan para malaikat mengiringi.
Kita berdendang dibentang jarak dan waktu,
aku mencoba mengurai rindu yang paling kekasih padamu.
Duhai kekasihku,
sesungguhnya tak cukup lima waktu kita bertemu
untuk hati yang tlah gelap membiru;
tak cukup 30 hari mendera diri
karna tak hangus daki bersuluh matahari;
pada simpang-simpang hari rindu makin membelenggu
sementara jiwa-jiwa membatu
Duhai kekasihku,
aku ingin menjadi hujan
agar mampu menyentuh pelangimu
Kaki Merapi, 27 Agustus 2011
engkau mengundangku ke dalam kemahmu dan berdiam
menyimak bisik pasir yang memantulkan safaat
segenap penjuru bumi bagimu
kusandarkan kepalaku pada bilah jantungmu
yang berdetak lembut mengalunkan tembang-tembang ilahi
dan para malaikat mengiringi.
Kita berdendang dibentang jarak dan waktu,
aku mencoba mengurai rindu yang paling kekasih padamu.
Duhai kekasihku,
sesungguhnya tak cukup lima waktu kita bertemu
untuk hati yang tlah gelap membiru;
tak cukup 30 hari mendera diri
karna tak hangus daki bersuluh matahari;
pada simpang-simpang hari rindu makin membelenggu
sementara jiwa-jiwa membatu
Duhai kekasihku,
aku ingin menjadi hujan
agar mampu menyentuh pelangimu
Kaki Merapi, 27 Agustus 2011
Duhai Kekasih II
Aku sering kehilangan kekasih pada malam
yang menyembunyikannya pada ruangruang tak bernama,
lalu apakah dikau masih kusebut kekasih
jika waktu tak pernah henti mematahkan rinduku:
waktu belum berkata padaku sampai kapan
dia menyembunyikanmu dalam ruang hampa rasa
dan menyandera pendarpendar renjanaku
di sudutsudut gelap
Jika kepadaku dia bilang
mestinya selesai rinai kekasihku melenggang hilang
O duhai, malam telah lama menjadi jahanam bagiku!
merenggut kekasihku tanpa ampun dari tumpukan inginku
dan menyandera harapku dalam istana debu
tahukan engkau betapa aku tlah kenakan
busana cinta untukmu?
Duhai,
ini malam menawarkan rajam pada tiap titik ruang
menghadirkan repih pada tiaptiap serpih rasa
masihkah engkau kekasih
ketika tanggal satu per satu daun rindu?
Duhai kekasih,
pernah kulihat seleret berpendar dari bola matamu
menyembunyikan kulum yang kau hujamkan
pada telaga yang menyambut sambil berbuncah
aku tergugu
tak lagi sekedar malamku menjadi jahanam
siangku telah pula merajam
Yogyakarta, 26 Agustus 2011
Ilustrasi gambar adalah lukisan karya Lim Sahih
tidak ada judulnya
Tidak digunakan untuk tujuan komersial
yang menyembunyikannya pada ruangruang tak bernama,
lalu apakah dikau masih kusebut kekasih
jika waktu tak pernah henti mematahkan rinduku:
waktu belum berkata padaku sampai kapan
dia menyembunyikanmu dalam ruang hampa rasa
dan menyandera pendarpendar renjanaku
di sudutsudut gelap
Jika kepadaku dia bilang
mestinya selesai rinai kekasihku melenggang hilang
O duhai, malam telah lama menjadi jahanam bagiku!
merenggut kekasihku tanpa ampun dari tumpukan inginku
dan menyandera harapku dalam istana debu
tahukan engkau betapa aku tlah kenakan
busana cinta untukmu?
Duhai,
ini malam menawarkan rajam pada tiap titik ruang
menghadirkan repih pada tiaptiap serpih rasa
masihkah engkau kekasih
ketika tanggal satu per satu daun rindu?
Duhai kekasih,
pernah kulihat seleret berpendar dari bola matamu
menyembunyikan kulum yang kau hujamkan
pada telaga yang menyambut sambil berbuncah
aku tergugu
tak lagi sekedar malamku menjadi jahanam
siangku telah pula merajam
Yogyakarta, 26 Agustus 2011
Ilustrasi gambar adalah lukisan karya Lim Sahih
tidak ada judulnya
Tidak digunakan untuk tujuan komersial
Minggu, 21 Agustus 2011
Magrib
Semburat saga mengundang matahari meredupkan binarnya
gema ilahi menggaung pada jiwajiwa merindu
gemericik air menghantar gerak dalam pensucian tubuh
maka bertelut semesta jiwa dalam segenap rindu
dan sunyi menjadi saksi pertautan dengan Sang Suci
Wahai jiwaku yang kembara di bawah matahari garang
senyapkan sejenak dalam dekap samudra rindu abadi
luruhkan segenap keangkuhan pada sujud
seiring rebah semesta dalam belai cinta nirvana
biar menari setiap bulir darah
dan berdendang sekujur syaraf pada sapa Ilahi
Yaa Allah, Yaa Rabb...
rinduku menggeletar seolah air mencari samudra
ijinkan sunyi merengkuhku dan mengecupkan hembusMU
pada detik magrib
pada sunyi Sang Suci
telutku adalah lentang jiwa padaMU
Yogyakarta, 22 Agustus 2011
gema ilahi menggaung pada jiwajiwa merindu
gemericik air menghantar gerak dalam pensucian tubuh
maka bertelut semesta jiwa dalam segenap rindu
dan sunyi menjadi saksi pertautan dengan Sang Suci
Wahai jiwaku yang kembara di bawah matahari garang
senyapkan sejenak dalam dekap samudra rindu abadi
luruhkan segenap keangkuhan pada sujud
seiring rebah semesta dalam belai cinta nirvana
biar menari setiap bulir darah
dan berdendang sekujur syaraf pada sapa Ilahi
Yaa Allah, Yaa Rabb...
rinduku menggeletar seolah air mencari samudra
ijinkan sunyi merengkuhku dan mengecupkan hembusMU
pada detik magrib
pada sunyi Sang Suci
telutku adalah lentang jiwa padaMU
Yogyakarta, 22 Agustus 2011
Duhai Kekasih
Ini malam anganku terberai menyecap aroma
yang kau tebar lewat desau
kerjap matamu berkerling dengan rembulan
mengundang rasaku merenjana
sepertinya malam tengah bersetubuh dengan hasratku
karna setiap bulir darahku meletupletup
bak terjerang di titik didih
dan setiap simpul syaraf menggeletar saling tindih
Duhai kekasih,
angin diamdiam datang membentangkan rentang
maka rinduku kembali pada dedaunan tergantang
tersisa kerlingmu perlahan melenggang
hilang
Duhai kekasih...
Kaki Merapi, 21 Agustus 2011
Ilustrasi gambar adalah lukisan karya Lim Sahih
digunakan bukan untuk tujuan komersial
yang kau tebar lewat desau
kerjap matamu berkerling dengan rembulan
mengundang rasaku merenjana
sepertinya malam tengah bersetubuh dengan hasratku
karna setiap bulir darahku meletupletup
bak terjerang di titik didih
dan setiap simpul syaraf menggeletar saling tindih
Duhai kekasih,
angin diamdiam datang membentangkan rentang
maka rinduku kembali pada dedaunan tergantang
tersisa kerlingmu perlahan melenggang
hilang
Duhai kekasih...
Kaki Merapi, 21 Agustus 2011
Ilustrasi gambar adalah lukisan karya Lim Sahih
digunakan bukan untuk tujuan komersial
Minggu, 07 Agustus 2011
Pengembara
Aku sang pengembara maya
berkelana mencari suaka telaga
Berabad waktu berlalu:
kemarau, hujan, musim semi, musim panas,
musim dingin, musim gugur, bahkan musim sembilu
Beribu tanah berganti:
bergelombang, berbatu cadas, berlubang, berjurang,
bahkan berlumut rindu
Daki menjadi selimut,
keringat menjadi penghangat;
darah tertumpah di mana-mana.
Aku sang pengembara maya
mata di penjuru dunia; semua fana
sesungguhnya tak nyata
Lebih banyak yang tak terjaga
lebih banyak yang terlelap
karena lebih indah mimpi daripada hidup suri
Aku sang pengembara maya
jelajahku daging, ternyata masih daging
maka kalam bersiuran hanya singgah sesaat
belum sempat melekat.
Aku masih harus mengembara
Kaki Merapi, 7 Agustus 2011
berkelana mencari suaka telaga
Berabad waktu berlalu:
kemarau, hujan, musim semi, musim panas,
musim dingin, musim gugur, bahkan musim sembilu
Beribu tanah berganti:
bergelombang, berbatu cadas, berlubang, berjurang,
bahkan berlumut rindu
Daki menjadi selimut,
keringat menjadi penghangat;
darah tertumpah di mana-mana.
Aku sang pengembara maya
mata di penjuru dunia; semua fana
sesungguhnya tak nyata
Lebih banyak yang tak terjaga
lebih banyak yang terlelap
karena lebih indah mimpi daripada hidup suri
Aku sang pengembara maya
jelajahku daging, ternyata masih daging
maka kalam bersiuran hanya singgah sesaat
belum sempat melekat.
Aku masih harus mengembara
Kaki Merapi, 7 Agustus 2011
Selasa, 02 Agustus 2011
Selembar Kertas
Selembar kertas teronggok di pojok ingatan
hurufhurufnya merah meleleh pada raut muka
Serupa darah
Pada tiap titik senja
berdentam seribu desah di selembar kertas
dan katakata menggelinjang memburai
Serupa resah
Telah menari kakikaki airmata pada tiap henti
jeda nafas dalam telut sujud tanpa raut
airmata bersabung dengan sengau katakata
melusuhkan kertas ingatan di sudut kepala
Serupa lara
Maka harus kuhujamkan rindu
pada laut yang paling laut
pada jurang yang paling jurang
pada relung yang tak lagi raung
Maka harus kubakar rasa hingga tanpa sisa
hanya serpih mengudara memerih mata
Katakata lunglai pada selembar kertas ingatan
merepih,
memerih,
mencerai rintih
Aku,
selembar kertas yang merindui api
Kaki Merapi, 3 Agustus 2011
hurufhurufnya merah meleleh pada raut muka
Serupa darah
Pada tiap titik senja
berdentam seribu desah di selembar kertas
dan katakata menggelinjang memburai
Serupa resah
Telah menari kakikaki airmata pada tiap henti
jeda nafas dalam telut sujud tanpa raut
airmata bersabung dengan sengau katakata
melusuhkan kertas ingatan di sudut kepala
Serupa lara
Maka harus kuhujamkan rindu
pada laut yang paling laut
pada jurang yang paling jurang
pada relung yang tak lagi raung
Maka harus kubakar rasa hingga tanpa sisa
hanya serpih mengudara memerih mata
Katakata lunglai pada selembar kertas ingatan
merepih,
memerih,
mencerai rintih
Aku,
selembar kertas yang merindui api
Kaki Merapi, 3 Agustus 2011
Senin, 01 Agustus 2011
Tetes Peluh Merah
Pernah kita menyabung rasa di sudut kelam
pelepah daun mendengkingkan serapah
karena peraduannya kita rampas
untuk menggelinjangkan ruah madu hitam kita.
Maka kitapun lelap didekap renjana purba.
Pernah kita berbaku kata manis berselimut duri
menjajal angan hasrat yang tak kenal tunai
tapi kita tak sanggup menderu
karena kita disandera kejujuran,
direjam buah renjana.
Tiba-tiba kau hadir bersama angin
menumpahkan pucuk-pucuk duri di kepalaku
mendera jantungku dengan ujung lidah paling jarum.
Sakau jiwaku.
Layaknya engkau adalah mawar liar
mengundang gairah
dan mengguratkan tetes peluh merah.
Yogyakarta, 31 Juli 2011
pelepah daun mendengkingkan serapah
karena peraduannya kita rampas
untuk menggelinjangkan ruah madu hitam kita.
Maka kitapun lelap didekap renjana purba.
Pernah kita berbaku kata manis berselimut duri
menjajal angan hasrat yang tak kenal tunai
tapi kita tak sanggup menderu
karena kita disandera kejujuran,
direjam buah renjana.
Tiba-tiba kau hadir bersama angin
menumpahkan pucuk-pucuk duri di kepalaku
mendera jantungku dengan ujung lidah paling jarum.
Sakau jiwaku.
Layaknya engkau adalah mawar liar
mengundang gairah
dan mengguratkan tetes peluh merah.
Yogyakarta, 31 Juli 2011
Senin, 25 Juli 2011
Kelak Kita Bertemu
Waktu tlah merenggutmu dariku,
waktu jua yg mengalirkanmu bersama darah
di nadiku
Seribu kelu bukan lagi sembilu
tak lagi hati mencucuk jarum
meski kadang masih tersisa gugu
tak ada lagi, tak ada lagi
kecuali keyakinan kelak kita bertemu
Kaki Merapi, 25 Juli 2011
waktu jua yg mengalirkanmu bersama darah
di nadiku
Seribu kelu bukan lagi sembilu
tak lagi hati mencucuk jarum
meski kadang masih tersisa gugu
tak ada lagi, tak ada lagi
kecuali keyakinan kelak kita bertemu
Kaki Merapi, 25 Juli 2011
Selasa, 19 Juli 2011
Fading Joy
and thy fragrance of love to the mist disperses;
Slowly our memories creep out of the room
where once united our two universes.
Flirting my soul with thy fading smiles,
the moon launches my senses to the emptiness.
Shall I bridge the distance of a thousand miles
and bring thee back to swim in the sea of madness?
the moon launches my senses to the emptiness.
Shall I bridge the distance of a thousand miles
and bring thee back to swim in the sea of madness?
Tonight thou come to my silent rim;
oh sweet rose, I lost the wind thou breeze,
it slips away and come what may.
Hence, through the leaves I whisper my dream
and let the bees thy crimson joy squeeze
and bequeath this love to dim light to slay
Kaki Merapi, 19 Juli 2011
Aku Titipkan Senyum
Aku titipkan senyum pada embun
pagi yang tiap kali mengetuk jendela hatimu
usapkan pada rona pipimu jika kau merindu
Kusampirkan harap pada rindang daunan di sisi kamar
jika kau bangun nanti,
ia akan merambati sekujur nadi
dan geliatmu leburkan renjana yang lama tersekam.
Aku pergi mengusung pagi,
tapi tak kutinggalkan senja
karena rautmu adalah penghuni abadi
alir nadiku
Mari bersendau meski lewat bayang
biar tak terasa bahwa jarak terentang
Kaki Merapi, 19 Juli 2011
pagi yang tiap kali mengetuk jendela hatimu
usapkan pada rona pipimu jika kau merindu
Kusampirkan harap pada rindang daunan di sisi kamar
jika kau bangun nanti,
ia akan merambati sekujur nadi
dan geliatmu leburkan renjana yang lama tersekam.
Aku pergi mengusung pagi,
tapi tak kutinggalkan senja
karena rautmu adalah penghuni abadi
alir nadiku
Mari bersendau meski lewat bayang
biar tak terasa bahwa jarak terentang
Kaki Merapi, 19 Juli 2011
Minggu, 17 Juli 2011
Kita Menari di Alir Sungai Susu
Kau dengar tadi mama,
mereka bergumam, sebagian bersenandung pujian untukmu.
Masih ada yang menitikkan bening memantulkan rautmu
yang meneduhku dari sengkarut rasa.
Sejenak kuedarkan mata pada kumpulan raut yang ada;
mestinya asing engkau karena bukan mereka
yang sering bercanda di beranda kita.
Aih, mestikah ada beda di sana?
Orangorang berkata bahwa 1000 adalah batas pemisah
dunia kita; tidak begitu bagiku. Waktu tak punya
kuasa atas darah yang mengaliri nadiku.
Engkau hanya berlalu sesaat menyiapkan tempat
bagi kita bertemu seperti dulu selalu
kau siapkan segala sesuatu untukku.
Bersuka citalah engkau dalam perjamuan kudusNYA
di sampingnya kelak aku berdansa di kemah Junjungan Agungku
kita menari di alir sungai susu.
Malang, 21 Juli 2011
mereka bergumam, sebagian bersenandung pujian untukmu.
Masih ada yang menitikkan bening memantulkan rautmu
yang meneduhku dari sengkarut rasa.
Sejenak kuedarkan mata pada kumpulan raut yang ada;
mestinya asing engkau karena bukan mereka
yang sering bercanda di beranda kita.
Aih, mestikah ada beda di sana?
Orangorang berkata bahwa 1000 adalah batas pemisah
dunia kita; tidak begitu bagiku. Waktu tak punya
kuasa atas darah yang mengaliri nadiku.
Engkau hanya berlalu sesaat menyiapkan tempat
bagi kita bertemu seperti dulu selalu
kau siapkan segala sesuatu untukku.
Bersuka citalah engkau dalam perjamuan kudusNYA
di sampingnya kelak aku berdansa di kemah Junjungan Agungku
kita menari di alir sungai susu.
Malang, 21 Juli 2011
Rabu, 06 Juli 2011
Lamunan
Tiba-tiba aku menjadi daun berenang dalam angin,
terhirup panas di alir nadi meretakkan mimpi.
Pernah kau untai kata
membuatku berkejaran dengan awan
pernah kau bisikkan desah meredam gelisah.
Aku menulis bayangku sendiri
Sepenggal ingatan menapak garis-garis mati
ada ruyak rasa tatkala titik hujan
mengukir pelangi menemani canda para awan
Butir-butir air adalah peristiwa membentang
jalan laluku;
di sana menggenang madu berhias kerikil batu
Ya, aku tersembilu
Lalu aku menjadi kata; bersemayam di kepala,
berhambur lewat lidah mengangakan luka.
Setiap huruf adalah ujung jarum
menukik syaraf rasa,
mengucurkan gigil keringat.
Lalu aku menjadi malam
tempat sunyi menghujam
Kaki Merapi, 6 Juli 2011
terhirup panas di alir nadi meretakkan mimpi.
Pernah kau untai kata
membuatku berkejaran dengan awan
pernah kau bisikkan desah meredam gelisah.
Aku menulis bayangku sendiri
Sepenggal ingatan menapak garis-garis mati
ada ruyak rasa tatkala titik hujan
mengukir pelangi menemani canda para awan
Butir-butir air adalah peristiwa membentang
jalan laluku;
di sana menggenang madu berhias kerikil batu
Ya, aku tersembilu
Lalu aku menjadi kata; bersemayam di kepala,
berhambur lewat lidah mengangakan luka.
Setiap huruf adalah ujung jarum
menukik syaraf rasa,
mengucurkan gigil keringat.
Lalu aku menjadi malam
tempat sunyi menghujam
Kaki Merapi, 6 Juli 2011
Selasa, 05 Juli 2011
Isra' Mi'raj
Telah ditetapkan engkau sebagai yang teristimewa
dari yang istimewa
Diberikan kepadamu cahaya sebagai pelayan
menuju Sang Tahta
setiap langit tunduk padamu
setiap langit memujamu
Kau pulang menggenggam dunia
mewariskan wasiat sakti 5 pilar utama
untuk menggapai surga
kau berikan penuh cinta
kau ajarkan dengan kasih lembut
maka bumi dan langit padamu bertelut
Wahai sang Kekasih Jiwa
sempurna cahaya yang engkau susupkan
pada alir nadiku
tuntas sudah pendar ajar menuju Tahta
yang engkau bisikkan pada setiap getar
bulu tubuhku
namun sesungguhnya aku tetap berada
pada puncak kelu
karna sujudku tak menembus angin
tak meliuk pada titik batin yang
haus sapamu
oleh debu mengental pada tiap butir keringat
yang menghujam kembali ke jantungku
Wahai Sang Kekasih Jiwa
Rindu padamu ini membawa getar gemetar pada
layang jiwaku yang kelana
isra'ku berlumut kelam pada batas tepi malam
mana mungkin aku mi'raj bahkan pada landas
tapak kakimu?
masihkan aku pantas mengagungkan sucimu
bahkan di sudut bilik batinku?
Kaki Merapi, 2 Juli 2011
dari yang istimewa
Diberikan kepadamu cahaya sebagai pelayan
menuju Sang Tahta
setiap langit tunduk padamu
setiap langit memujamu
Kau pulang menggenggam dunia
mewariskan wasiat sakti 5 pilar utama
untuk menggapai surga
kau berikan penuh cinta
kau ajarkan dengan kasih lembut
maka bumi dan langit padamu bertelut
Wahai sang Kekasih Jiwa
sempurna cahaya yang engkau susupkan
pada alir nadiku
tuntas sudah pendar ajar menuju Tahta
yang engkau bisikkan pada setiap getar
bulu tubuhku
namun sesungguhnya aku tetap berada
pada puncak kelu
karna sujudku tak menembus angin
tak meliuk pada titik batin yang
haus sapamu
oleh debu mengental pada tiap butir keringat
yang menghujam kembali ke jantungku
Wahai Sang Kekasih Jiwa
Rindu padamu ini membawa getar gemetar pada
layang jiwaku yang kelana
isra'ku berlumut kelam pada batas tepi malam
mana mungkin aku mi'raj bahkan pada landas
tapak kakimu?
masihkan aku pantas mengagungkan sucimu
bahkan di sudut bilik batinku?
Kaki Merapi, 2 Juli 2011
Senin, 04 Juli 2011
Tak Ada Lagi
Sehelai daun melayang
menghempas hasrat di batas ambang
pada sekujur bayangmu aku terkulai
tak ada lagi
tak ada lagi
Sehelai daun melayang
terbawa angin menghilang dari jarak pandang
kembali sunyi memagutkan perih pada jantung
tak ada lagi
tak ada lagi
Aku berlari mencecerkan pasir hati
Aih, bukan, tetapi hatiku yang tercecer pergi
tak ada lagi
tak ada lagi
Kaki Merapi, 15 Mei 2011
menghempas hasrat di batas ambang
pada sekujur bayangmu aku terkulai
tak ada lagi
tak ada lagi
Sehelai daun melayang
terbawa angin menghilang dari jarak pandang
kembali sunyi memagutkan perih pada jantung
tak ada lagi
tak ada lagi
Aku berlari mencecerkan pasir hati
Aih, bukan, tetapi hatiku yang tercecer pergi
tak ada lagi
tak ada lagi
Kaki Merapi, 15 Mei 2011
Minggu, 03 Juli 2011
Kekasih Jiwa
Di simpang jalan itu dengan senyum kau memanggilku
wajahmu lelah namun berseri
jarak cahaya telah kau tempuh
aku ingin bersimpuh
Wahai sang Kekasih Jiwa, sosokmu memberiku teduh
saat keluh melusuh
tangan kokohmu menghembuskan belai sutra di wajahku
Termangu
Di simpang jalan itu rinduku terseok
karena debu meliat batinku
sekian waktu kujalani mengikuti
bayang jejakmu
tapi langkahku tercecer
hatiku terserak
alamku sesat
Suaramu menggema memanggilku
aku bergegas meraih meski hanya gemamu
penuh rindu
Aihh, layakkah aku merindu
sedang sambat pujaku tak menentu?
Kaki Merapi, 4 Juli 2011
wajahmu lelah namun berseri
jarak cahaya telah kau tempuh
aku ingin bersimpuh
Wahai sang Kekasih Jiwa, sosokmu memberiku teduh
saat keluh melusuh
tangan kokohmu menghembuskan belai sutra di wajahku
Termangu
Di simpang jalan itu rinduku terseok
karena debu meliat batinku
sekian waktu kujalani mengikuti
bayang jejakmu
tapi langkahku tercecer
hatiku terserak
alamku sesat
Suaramu menggema memanggilku
aku bergegas meraih meski hanya gemamu
penuh rindu
Aihh, layakkah aku merindu
sedang sambat pujaku tak menentu?
Kaki Merapi, 4 Juli 2011
Kamis, 30 Juni 2011
1000 Harimu
Jam berdetak mengarak ingatan pada teduh sapamu
sesaat memasuki subuh. Suara derit pintu menandai awalmu
mengolah hari. Kau putar musik lembut menemani
sementara wajah teduhmu menahan perih
berkernyit. Telah hilang satu kaki.
Waktu menyodorkan sunyi sambil
mengguratkan ujung-ujung jarum pada sebelah sisa kaki.
Kau tak lagi bisa mengolah pagi meski
musik lembut masih menemani
dan seorang perempuan berbalut putih melayani.
Hidupmu terpapar pada sebilah ranjang dan
sepetak ruang beraroma karbol tiap hari.
Kau buka jendela-jendela besar; angin segar
menyapa menawarkan semilir
yang menelusup tubuh merajam hati.
Setumpuk harapku dan mereka tak mampu
mengobarkan apimu yang semakin memuram.
"Mama tak kuat lagi, anakku," begitu katamu.
Pagi itu kau telah segar dan senyum membaru
di wajahmu. Dunia menyambutmu
dengan mawar berbunga di semua wajah. Belum
hilang renungku atas kata-katamu,
engkau tak lagi di sana;
pergi dalam balut senyum mewangi.
Begitulah kenangku padamu.
Seribu harimu;
Al Fatiha bergaung,
Yasin, Al Ikhlas, Al Falaq, Al Anas, sholawat mengalun,
Bapa Kami berdengung,
Salam Maria, Aku Percaya, Kemuliaan, Litanie bersabung
Ayat-ayat suci tinggi membumbung
Seribu hari, seribu kenangan menari
rindu tak pernah kenal henti
Kaki Merapi, Juli 2011
sesaat memasuki subuh. Suara derit pintu menandai awalmu
mengolah hari. Kau putar musik lembut menemani
sementara wajah teduhmu menahan perih
berkernyit. Telah hilang satu kaki.
Waktu menyodorkan sunyi sambil
mengguratkan ujung-ujung jarum pada sebelah sisa kaki.
Kau tak lagi bisa mengolah pagi meski
musik lembut masih menemani
dan seorang perempuan berbalut putih melayani.
Hidupmu terpapar pada sebilah ranjang dan
sepetak ruang beraroma karbol tiap hari.
Kau buka jendela-jendela besar; angin segar
menyapa menawarkan semilir
yang menelusup tubuh merajam hati.
Setumpuk harapku dan mereka tak mampu
mengobarkan apimu yang semakin memuram.
"Mama tak kuat lagi, anakku," begitu katamu.
Pagi itu kau telah segar dan senyum membaru
di wajahmu. Dunia menyambutmu
dengan mawar berbunga di semua wajah. Belum
hilang renungku atas kata-katamu,
engkau tak lagi di sana;
pergi dalam balut senyum mewangi.
Begitulah kenangku padamu.
Seribu harimu;
Al Fatiha bergaung,
Yasin, Al Ikhlas, Al Falaq, Al Anas, sholawat mengalun,
Bapa Kami berdengung,
Salam Maria, Aku Percaya, Kemuliaan, Litanie bersabung
Ayat-ayat suci tinggi membumbung
Seribu hari, seribu kenangan menari
rindu tak pernah kenal henti
Kaki Merapi, Juli 2011
Minggu, 19 Juni 2011
Sajak Pendek Matahari
I
Sepetak hati mencumbu matahari rindu
Kutancapkan sunyi di sudut bibirmu
Desah pada gegar jiwa
II
Matahari baru tenggelam di balik saga
menyisakan sepotong kerling membias matamu
Aku gagap pada senja menghilang
III
Matahari menyapa rekah hari
Pada piasmu kulihat kerjap doa paling bening
Ya, kita pernah terejang pisau kebimbangan
IV
Matahari tergeletak menggumam erang
Meruntuhkan airmata dalam balut gemetar
Jiwaku demam karenanya
V
Matahari sudah lelah, menghilang
Kunang-kunang bergincu terbang menebar undangan
Tercecer wajah pias terbelenggu rindu
VI
Matahari, matahari, matahari
Bersabung hidup mengulang arti
Mati
VII
Matahari bicara pada laut
"Aku tuliskan nama di pasirmu"
Kau sisakan senyap dengan pasangmu
VIII
Aku bersumpah demi matahari
Kau sekam matahari
Koyak jantungku terjilat lidah api
IX
Matahari, matahari
Tawa dan rintih jadi saksi
Semestaku bisu dan tuli
Kaki Merapi, 20 Juni 2011
Sepetak hati mencumbu matahari rindu
Kutancapkan sunyi di sudut bibirmu
Desah pada gegar jiwa
II
Matahari baru tenggelam di balik saga
menyisakan sepotong kerling membias matamu
Aku gagap pada senja menghilang
III
Matahari menyapa rekah hari
Pada piasmu kulihat kerjap doa paling bening
Ya, kita pernah terejang pisau kebimbangan
IV
Matahari tergeletak menggumam erang
Meruntuhkan airmata dalam balut gemetar
Jiwaku demam karenanya
V
Matahari sudah lelah, menghilang
Kunang-kunang bergincu terbang menebar undangan
Tercecer wajah pias terbelenggu rindu
VI
Matahari, matahari, matahari
Bersabung hidup mengulang arti
Mati
VII
Matahari bicara pada laut
"Aku tuliskan nama di pasirmu"
Kau sisakan senyap dengan pasangmu
VIII
Aku bersumpah demi matahari
Kau sekam matahari
Koyak jantungku terjilat lidah api
IX
Matahari, matahari
Tawa dan rintih jadi saksi
Semestaku bisu dan tuli
Kaki Merapi, 20 Juni 2011
Jumat, 03 Juni 2011
Renta
Sepasang kakek nenek
bungkuk mencecah tanah
menabur benih mengolah hidup
tanpa kata, hanya angin mencanda
Tuhanku
jiwaku bergetar pada jejak mereka yang diam
sederhana
Kaki Merapi, 3 Juni 2011
bungkuk mencecah tanah
menabur benih mengolah hidup
tanpa kata, hanya angin mencanda
Tuhanku
jiwaku bergetar pada jejak mereka yang diam
sederhana
Kaki Merapi, 3 Juni 2011
Kamis, 02 Juni 2011
Sajak Buat Istriku (III)
Kemarin, yah baru kemarin
kita berdebat, bersilang pendapat dan hati berjabat
lalu malam mendekat, kuantar kau pulang
"Besok jemput aku, sayang," katamu manis.
Kemarin, yah baru kemarin juga
kusanding engkau di peraduan
hanya aku dan kau
meleburkan hakekat alam
waktu tak lagi berbeda buat kita
Kemarin, yah justru baru kemarin
kulihat selarik keriput di lipat matamu
kulihat rona abu membias di rambutmu
Kemarin dan hari ini
seribu waktu aku termangu
Kaki Merapi, 2 Juni 2011
kita berdebat, bersilang pendapat dan hati berjabat
lalu malam mendekat, kuantar kau pulang
"Besok jemput aku, sayang," katamu manis.
Kemarin, yah baru kemarin juga
kusanding engkau di peraduan
hanya aku dan kau
meleburkan hakekat alam
waktu tak lagi berbeda buat kita
Kemarin, yah justru baru kemarin
kulihat selarik keriput di lipat matamu
kulihat rona abu membias di rambutmu
Kemarin dan hari ini
seribu waktu aku termangu
Kaki Merapi, 2 Juni 2011
Sajak Buat Istriku (II)
Lihatlah petak-petak sawah di sana
setiap petaknya menyimpan sebait peristiwa kita
ada kita berdansa dengan rima,
menari di atas pematangnya
ada kita bersabung dengan mendung,
dan hilang kidung.
Lihatlah riak-riak di sungai
setiap lekuknya memendam larik perjalanan
jejak langkah yang kadang menitikkan darah
dan kita berkejaran pada gemericiknya
mengundang rona berbias di wajahmu
setiap percik air adalah rasa yang
kita tancapkan pada arusnya
berlenggak-lenggok bergesek menelusup bebatuan
dan muntah pada lautan
Lihatlah buih-buih di lautan
gelembungnya adalah mimpi-mimpi kita
yang kadang pecah bahkan sebelum membuncah
pada kita alam tlah mengajarkan
merawat luka merenda harapan
Kaki Merapi, 1 Juni 2011
setiap petaknya menyimpan sebait peristiwa kita
ada kita berdansa dengan rima,
menari di atas pematangnya
ada kita bersabung dengan mendung,
dan hilang kidung.
Lihatlah riak-riak di sungai
setiap lekuknya memendam larik perjalanan
jejak langkah yang kadang menitikkan darah
dan kita berkejaran pada gemericiknya
mengundang rona berbias di wajahmu
setiap percik air adalah rasa yang
kita tancapkan pada arusnya
berlenggak-lenggok bergesek menelusup bebatuan
dan muntah pada lautan
Lihatlah buih-buih di lautan
gelembungnya adalah mimpi-mimpi kita
yang kadang pecah bahkan sebelum membuncah
pada kita alam tlah mengajarkan
merawat luka merenda harapan
Kaki Merapi, 1 Juni 2011
Minggu, 29 Mei 2011
Sajak Buat Istriku
Berpanah masa kau dan aku menatap senja
Saling berkisah pagi tak mau henti berganti
Berpeluh pelangi pada tapak kaki kita
Kita tak sendiri
Kita menunggang kala yang merambat sepesat angin
peristiwa demi peristiwa seperti gerak The 6 Million Dollar Man
menyiput sekaligus merusa
Kita masih menatap senja yang sama
dengan gincu saga
Tinggal setitik dwi windu kita berlalu
sungguh pekat aroma kelabu, kelu, dan sembilu
tapi bukan untuk kita menyerah kalah
meski jiwa raga penat lelah
Perang hidup belumlah usai
masih panjang langkah untuk mengurai masai
mari kita buat tekuk dan liuk
sebagai hidup yang sempurna bentuk
Kaki Merapi, 30 Mei 2011
Saling berkisah pagi tak mau henti berganti
Berpeluh pelangi pada tapak kaki kita
Kita tak sendiri
Kita menunggang kala yang merambat sepesat angin
peristiwa demi peristiwa seperti gerak The 6 Million Dollar Man
menyiput sekaligus merusa
Kita masih menatap senja yang sama
dengan gincu saga
Tinggal setitik dwi windu kita berlalu
sungguh pekat aroma kelabu, kelu, dan sembilu
tapi bukan untuk kita menyerah kalah
meski jiwa raga penat lelah
Perang hidup belumlah usai
masih panjang langkah untuk mengurai masai
mari kita buat tekuk dan liuk
sebagai hidup yang sempurna bentuk
Kaki Merapi, 30 Mei 2011
Kamis, 26 Mei 2011
Sajak Para Pejabat
Aku mau mencumbumu
di bawah rinai rintih anak-anak buncit
di sela gelegar kepal tangan kiri meninju angkasa
pada deru asap padat tengah kota
dalam gelisah tangan-tangan mengais sisa-sisa
Dan kita bergelut di atas tebal rerumputan bata
yang merakit langit
Gemuruh tukang becak berteriak
karena perut mereka penuh sesak
oleh angin
menjadi musik indah kita bercinta
Raung banjir melanda kota-kota
membuatmu semakin menggelinjang
kita bergulat melihat kumuh rumah-rumah berserak
Lelaki perempuan telanjang menggelimpang
sepanjang jalan
ajal menjelang
Aih, aku ejakulasi
tetesan berbola duri-duri
dan kau mengerang kegirangan
berenang hutang
Biar saja mereka berkubang kelaparan
Kaki Merapi, 27 Mei 2011
di bawah rinai rintih anak-anak buncit
di sela gelegar kepal tangan kiri meninju angkasa
pada deru asap padat tengah kota
dalam gelisah tangan-tangan mengais sisa-sisa
Dan kita bergelut di atas tebal rerumputan bata
yang merakit langit
Gemuruh tukang becak berteriak
karena perut mereka penuh sesak
oleh angin
menjadi musik indah kita bercinta
Raung banjir melanda kota-kota
membuatmu semakin menggelinjang
kita bergulat melihat kumuh rumah-rumah berserak
Lelaki perempuan telanjang menggelimpang
sepanjang jalan
ajal menjelang
Aih, aku ejakulasi
tetesan berbola duri-duri
dan kau mengerang kegirangan
berenang hutang
Biar saja mereka berkubang kelaparan
Kaki Merapi, 27 Mei 2011
Selasa, 24 Mei 2011
Ah, kalau saja aku masih boleh berharap
Angan ini dalam membelenggu rasaku,
mengharapmu selalu dalam rengkuhku,
dan kita bersama melampaui waktu.
Kepadamu aku terkulai karna hati terbelai
Kekasih, kau jadikan semua nyata untukku
dan tak lagi merana anganku
Betapa ingin rasa hatiku
menautkan bibirmu di bibirku,
membawaku mabuk melayang,
mencecap anggur manis dewa kayangan.
Geliat penuh bibirmu
adalah erangan rindu terpasung angan.
Aku lunglai kepayang
Andai aku masih bisa mengharap
dalam lautan cinta raga kita menyelam,
karna satu keinginanku terdalam,
memadu kasih denganmu sepanjang malam.
Karena hanya olehmu
hasratku mengharu, membiru,
dan karenamu renjanaku tak lagi kelu
Aih, kekasih, harapku masih semata angan
Rasaku dan rasamu di sana terselimut awan;
biarkan aku merengkuhmu, mendekapmu,
melumerkan karang keraguan,
menuai kepercayaan,
hingga jiwa kita berjalan bergandengan
Kekasih, di sini aku masih berharap
hanya ada engkau dan aku
tanpa cemas dan khawatir mengganggu.
Bersama bahagia kita berdansa,
melantunkan sajak cinta berbagi rima;
entah di sini atau di mana
waktu akan segera menjemput kita
Ah, kalau saja aku masih boleh berharap
ingin kurenggut aturan bumi
mati dan demi bersamamu hidup kembali
karena jiwamu dan jiwaku
Tlah tertulis tebal di seluruh pucuk dedaunan:
Engkau untukku
Aku untukmu
Kaki Merapi, 25 Mei 2011
(adaptasi puisi If I Could Make A Wish oleh Pamela)
My Lord, I Shall Not Try
I pray thee in the temple of gloom
with a smile of shining saber in my room
I whisper words the wind may not know
and somehow keep them deep in the hollow
I deeply groan in the roaring sea
with on my tongue a rusty lance one cannot see
then come red-eyed seagulls with burning breath
caring of my wounds with painful death
In the howling night the tranquil mind I beseech
like an old shaman takes blood with a leech
thus off my soul to the bleak cloud goes,
to alienation, strangled in the bliss foes
The nights fly
The days bye
The hollows cry
My Lord, I shall not try
Kaki Merapi, 24 Mei 2011
Minggu, 22 Mei 2011
Each to Each (Sajak Buat Istriku)
Shake my heart and hear my quivering flesh
there you find a bitter tone raging
Hold my tongue and listen to my trembling voice
there you see my veins clogging
Through mountainous waves
we've stepped our paths
into deep lightless spheres
we keep our sighs
Should the wind not embrace these impediments
then agony I would make my garments
So let us melt and make no noise
then silence the world will release
for you and me our hearts make a cease
the two hearts thus beat each to each
Kaki Merapi, 22 Mei 2010
Jumat, 20 Mei 2011
The Prayer
Thou breathe sharp breeze upon me
tracing my veins up to the very start
giving a knock that I shall walk upon thy line
Behold me Lord, on this pebbly muddy way I crawl
through a thorny path my bare feet thou call
thus along the line I gain my pain
that upon thee my stained blood I shall drain
Behold me Lord, thy piece of work
it starts to crack
with a bunch of impediment to lament
to thy See my prayer I lack
since to thy dark demon I've given up my judgment
O, the heavenly See
who controls the pole and whole souls
to thy Grace I shall untie my lace
but my sense is so paralyzed and I have no face
against thee I've piled my fouls
Whisper me through soft breeze
and I will end my time in thy bliss
Kaki Merapi, 21 Mei 2011
Rabu, 18 Mei 2011
Passion A Glance
Through ages of rocks I have learnt
the core of ecstasy some people might say
until my bones and flesh got burnt
in the howling dream, this shall only decay
In the shades meet two spheres of the earth
and collide in the twist two binary poles
thus trepidation from darkness get birth
with the remains of earthy ecstasy it burns the souls
It burns the souls and piles the ashes of dream
scattered by blind wind to nowhere land
to the timeless hollowness of sorrow
then for poppy and charms the hearts bleed and scream
for a winked passionate time comes to an end
and wake the mind with a bloody blow
Kaki Merapi, 19 Mei 2011
Langganan:
Postingan (Atom)
HUJAN PAGI
hujan pagi di musim kemarau dan bulir padi usai dituai aroma tanah basah dan kelepak burung sesayup daun yang kuyup menggurat rautmu di pel...
-
it's already late, my love the dusk is left behind you find no more songs of birds so soft let's set courses in the hallows of mi...
-
the morning comes and caresses your face and I hold your name along my days I swear to the sun of the love I slipped in your dream I di...
-
Baru saja terlempar dari balik jendela selembar tisu tergolek di tanah basah jelaga mata tlah terbuang secuil gelisah pada patahnya Gem...