Waktu itu senja mulai menyapa. Ruah sudah laut di rindu sosokmu, teteskan sungai koyak pada hendak ketika sore itu hujan mengguyur teras kisah kita. Rambutmu jadi basah oleh percik malam yang dikandung mendung pekat, baru saja dia bergayut dan meleleh. Sore kita kuyup. "Ah, biarlah," itu katamu, sambil kau geraikan basah di hatiku. Kulihat punggung tanganmu, tergurat kisah kita dalam gambar warna-warni. Persis pelangi yang kemarin kau tanam di benakku, dan pasti tumbuh subur meski tak sempat kusiangi; karena rinai tak pernah pergi.
Kau buka pintu perlahan, menyuarakan derit di hatiku. Lalu kita berbaku kata tentang masa, tentang warna, dan tentang jalan. Kita tertawa sambil menusukkan pedih di dinding jurang, tangan kita masih bersinggungan.
"Kelak jika senja tak lagi rinai, kita bangun istana mimpi kita," begitu rajukmu. Maka kupasakkan angan di bibir saga, agar menjadi saksi janji hati. Rinai senja tak pernah pergi, mungkin ia setia terjaga agar janji hati tetap bersembunyi.
Kaki Merapi, 8 Februari 2012
Aku dan pergulatanku menyusupi celah-celah kehidupan yang membawaku dalam kembara yang tak mengenal jeda. Baru kumengerti bahwa sunyi adalah belati berkarat yang mampu membawa sekarat...
Senin, 06 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
HUJAN PAGI
hujan pagi di musim kemarau dan bulir padi usai dituai aroma tanah basah dan kelepak burung sesayup daun yang kuyup menggurat rautmu di pel...
-
hujan pagi di musim kemarau dan bulir padi usai dituai aroma tanah basah dan kelepak burung sesayup daun yang kuyup menggurat rautmu di pel...
-
dan karma itu menumpahkan hujan pada renjana yang membara lalu kita guratkan janji pada lenguh paling pagi jarak telah menjadi pencuri aku ...
-
Lalu waktu bergegas gegas seperti cemas yang sedang berkemas siapa yang telah menggenggam rindu pucuk pucuk rumput mendadak layu di batas...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar