Kita berjanji bertemu di pelataran sunyi.
Engkau katakan akan datang membawa segumpal seyap
dan aku akan datang membawa setangkup sepi,
lalu kita akan berbagi rasa yang merintih di sudut hati hingga luruh janji yang tak pernah mengenal pagi.
Kau datang dalam gemulai angan menyambutku sepenuh hasrat tertahan karna mimpi-mimpi yang terlalu pagi.
Kemudian kita menata nada jiwa dan menyanyi dalam alun sunyi.
Kau tanya arti perih saat sunyi membelit tangan kita yang gagap menggapai matahari.
Kau tanya makna luka saat senyap menggelayut geriap rasa yang tak mampu menggenggam jemari mimpi karna pagi tlah keburu mendahului.
Kau tanya dimana bersembunyi duka, kepingnya menorehkan senyap, meneteskan darah dari jantung yang lepas tak bergantung.
Kilau matamu menembusi dingin suasana mengusir angin yang ingin mencuri nyanyi sunyi kita.
Lalu kucoba urai dengan jemari sunyi yang kau bawa saat kita jumpa.
Kulihat senyummu hanyut dalam gelombang awan di ufuk sana,
sunyimu yang satu mengurai rambutmu tergerai lepas,
tetap saja tangan kita gagap menggapai matahari.
Kugantungkan senyap pada dahan di atas bayang kepala kita.
Dia meneteskan belati maka angan dan mimpi kita tak sempat bertemu matahari pagi.
Nganga luka adalah kelam senja.
Kita seharusnya bertemu di pelataran sunyi.
Tapi engkau terbelit sunyi dan aku terperangkap senyap.
Kita seharusnya bercumbu di pelataran sunyi.
Tapi engkau terbuai sunyi dan aku didekap senyap.
Engkau dan aku adalah nyanyi sunyi,
adalah nganga luka di kelam senja.
Karanganom, akhir agustus 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar